Detik jam seperti berhenti bersamaan terhentinya langkah seseorang. Angin malam menerpa wajah yang menyembul dari balik pintu. Menyeruak masuk setelah handle pintu ditarik ke bawah. Langit memang gelap malam ini. Tak seperti malam kemarin yang penuh rasi bintang. Tapi tak masalah, ada yang lebih indah dari itu.
Diiringi katak yang sedang paduan suara di bawah selokan. Maklum, tadi sore langit membasahi bumi menyebabkan selokan terisi air dan pasti katak bersorak ria. Tapi tak peduli, suara yang biasanya membuat risih itu mendadak menjadi alunan merdu malam ini.
Masih dipandang lekat lelaku di hadapannya. Dari atas sampai bawah, masih sama seperti empat bulan yang lalu. Jambang. Ya itu yang berbeda. Tapi tetap tampan, membuat Risel selalu merindukannya.
“Nggak peluk?” Lelaki itu merentangkan tangannya. Setengah berlari, Risel menubruk tubuh lelaki yang sukses membuatnya menangis setiap malam. Dipeluknya erat sekali seolah tak ada hari esok untuk mengulang peluk.
Euforia menjadi tangis. Ia benar-benar tak bisa mengontrol perasaannya. Semua berkecamuk. Senang, sedih, kecewa, dan semuanya dikeluarkan dalam bentuk tangis. Tangannya mengepal, memukul dada lelaki berseragam loreng yang mencoba mengeratkan pelukan.
Puas dengan pukulan, Risel melepas pelukan. Ditariknya masuk, duduk di sofa ruang tamu. Abid menyeka air mata di bawah kantung mata Risel. Ia tersenyum, merasa bahagia tiada tara dicintai oleh wanita seperti Risel. Ia memeluk Risel erat sekali, menyalurkan segenap rindu yang sudah menggunung.
“Rindu.” Risel mencoba meloloskan diri dari pelukan Abid. Ia melenggang pergi begitu saja.
“Minum, Mas.” Oh, ternyata mengambil segelas air putih.
Ditatapnya Abid yang sedang meneguk air dalam gelas. Kentara sekali dia sangat haus. Lalu aksinya berhenti ketika mendapati airnya sudah lekang tinggal seperempat gelas. Tangannya menyodorkan pada Risel, “Minum juga!” Risel meraihnya, lalu meneguk sisanya.
“Tiba-tiba banget,” kata Risel saat kepalanya berhasil labuh di bahu Abid.
“Kenapa?”“Tiba-tiba pergi dan tiba-tiba datang.” Terlihat Abid tersenyum tipis, lalu menegakkan kepala Risel. Ia menakup wajah Risel, ditatapnya lekat. “Aku cinta kamu,” katanya lembut.
Risel mematung. Semua seperti jebakan. Sikap Abid selalu saja membuat Risel bingung. Apakah ini jawaban dari pertanyaan yang selalu menghantui Risel? Apalagi kalau bukan pertanyaan tentang perasaan Abid.
“Tugasku kali ini berat banget, hampir aja aku nyerah.”
“Emang ngapain sih, Mas?”
“Iyalah berat! Dulu masih bujangan, nggak ada yang dirinduin. Sekarang ninggal anak istri, rasanya pengen pulang terus.” Risel terkekeh. Setidaknya malam ini Abid tak membuat hatinya terluka.
“Abang Al pasti tidur ya? Aku mau cium dia,” kata Abid seraya melangkah ke arah kamar. Risel langsung mencekal lengannya, “Tunggu! Mas mandi dulu baru boleh ketemu Al!”
“Dingin. Tengah malem ini udahan.”
“Atau tidur nggak sama Al?”
“Yaudah, sama kamu ya?” Abid tersenyum puas. Merasa menang dengan kalimatnya.
“Al nangis tanpa aku. Jadi kalau nggak mandi, berarti nggak bisa tidur sama kita!”
“Ck. Ngancem ya.” Abid mengganti arah kakinya menuju kamar mandi.
***
“Assalamualaikum jagoannya Baba! Baba kangen sama kamu, Nak. Maaf ya udah jauh sama Al.”
Risel memandang sayu kedua lelaki yang ia cintai. Kehidupannya tak sesimpel yang dia rancang ketika ia masih kecil dulu. Tak pernah dirancang dia akan menikah dengan lelaki yang siap tak siap harus meninggalkannya demi tugas negara.
![](https://img.wattpad.com/cover/221745089-288-k465186.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)
General FictionIni squel dari cerita yang berjudul 'Sersan, Kau kembali' menceritakan kisah seorang Abidakarsa Abdullah dengan semua lukanya. yang pada akhirnya disembuhkan oleh Aninda Risel Fernisa, belahan jiwanya, Ibu dari anaknya. semua tak berhenti. Ternyata...