Bagaimana Bisa?

3.1K 312 57
                                    


“Setidaknya ganti baju dulu, Mas.” Dengan malas, Abid bangkit. Ia menerima lipatan baju yang diberikan oleh Risel. Ia mengganti kemejanya dengan kaos oblong berwarna putih dengan celana boxer—pakaian andalan untuk tidur.

Risel memandangi Abid begitu sudah lelap dalam tidurnya. Ia membasuh muka, lalu ikut tertidur di sebelah Alfath.

Pukul 03.00 WIB, Abid terbangun. Ia melangkah menuju kamar mandi belakang. Belum sampai, matanya melirik meja makan yang tertutup tudung. Perutnya tiba-tiba bunyi, membuatnya menggaruk kepala. “Lapar,” katanya.

Ia berbinar ketika membuka tudung. Senyumnya mengembang sumringah. “Udang saus padang,” lirihnya. Ia buru-buru mengambil piring, diisi dengan nasi hangat. Tangannya yang terulur untuk menyendok udang, terhenti karena suara Risel. “Mas? Ngapain?” Abid menoleh, menatap Risel yang berjalan mendekat ke arahnya.

“Mas mau makan? Tapi udah dingin banget, itu aku masak sore. Aku angetin dulu,” lalu mengambil sepiring udang itu untuk dipanaskan.

“Kamu nggak bilang kalau masak udang, tau gitu semalam nyempatin makan.”

“Aku sudah kirim gambarnya ke whatsapp Mas.”

“Oh iya, ponsel Mas mati dari kemarin sore. Maaf, ya. Mas akan makan udangnya sekarang, buat sahur.”

Risel meletakkan kembali udang yang sudah panas ke piring. Lalu disendokkan untuk dipindah ke piring Abid. “Mau puasa?” Abid mengangguk. “Risel ikut, ya?”

“Emang kuat? Alfath masih minum Asi.” Risel meletakkan piring berisi nasi di hadapannya, “InsyaAllah. Hamil aja aku masih kuat puasa kemarin.” Abid terkekeh, tangannya mengusap puncak kepala Risel. “Kalau nggak kuat jangan dipaksa,” katanya mengingatkan.

Selesai makan, Abid memandangi Risel yang tengah meneguk air. Risel merasa malu dipandangi begitu oleh Abid. Selesai minum, ia membawa piring dan gelas kotor ke wastafel untuk ia cuci.

“Sayang,” Abid berdiri di samping Risel yang sedang menyabuni piring. “Buka puasa di luar, ya. Janji!” Risel meletakkan piringnya di rak besi mini sebelum dipindahkan ke lemari piring. “Baru aja sahur, udah ngomongin buka.”

“Dek, tolong percaya sama Mas, ya! Kunci dalam rumah tangga adalah saling percaya.” Risel diam. Ia lebih memilih melangkah untuk berwudhu. Ia segera menunaikan shalat tahajjud.

***

Terik matahari sangat menyengat siang ini. Tapi lumayan, kepala cepak milik Abid itu basah jadi tak terlalu merasakan panas. Sehabis shalat dzuhur, ia kembali ke kantornya. Biasanya ia akan ke kantin, tapi kali ini tidak karena ia berpuasa sunnah.

“Bang!” Ia cepat menoleh. Ternyata Satria dengan air mineral di tangannya. “Mau, Bang?” Abid menggeleng. Satria bergumam senang Abid tak meminta. Memang dia begitu.

“Dari mana semalam, Bang? Ikut Repot saya nyariin.” Abid memukulkan baretnya di bahu Satria membuat Satria mengaduh. “Ngapain kamu nyariin saya?”

“Semalam itu saya ke rumah, tapi istri Abang celingukan di teras. Katanya Abang nggak bisa dihubungin. Memang paling senang, ya Bang buat orang khawatir?”

“Lebay, ah. Aduh.” Kali ini Abid yang mengaduh. Satria memukulnya dengan botol mineral. “Sopan, kau Sat?!”

“Mohon ampun, Bang! Abang tak tau aja Bu Risel cemas tingkat tinggi, Bang. Nomor nggak aktif, kemana si Bang? Udah tau belum lama masuk rumah sakit, malah ngilang buat orang tersayang di rumah khawatir aja.”

“Semalam dari ...” ucapan Abid terhenti ketika ponselnya berdering. Ia buru-buru menjauh dari Satria untuk mengangkatnya.

Satria mengamati Abid dari kejauhan. Tampak sekali Abid mengeluh, lalu akhirnya mengangguk pasrah. Buru-buru ia mengalihkan pandangan saat Abid kembali ke tempat semula.

“Kabur, lah.” Setelah mengucap itu, Abid pergi begitu saja. Satria dibuat melongo oleh Abid. Ia mengikutinya, ternyata menuju parkiran. Setelah meminjam helm milik temannya, ia tancap gas keluar dari Batalyon. “Kemana lah orang itu,” gumam Satria.

Satria menghampiri Eko, “Izin, Bang! Itu Bang Abid mau kemana kok pinjam helm?”

“Nggak bilang. Cuma kayaknya jauh. Oh, dia bilang bakal pulang malam makanya nyuruh saya pulang tanpa nunggu helm.” Satria manggut-manggut paham.

Sampai senja mulai tampak, Abid belum kembali. Risel sudah siap, mengingat Abid yang mengajaknya untuk berbuka di luar.

“Al, udah mau jam enam, tapi Baba belum pulang ya?” Ia tetap menunggu. Sampai adzan maghrib berkumandang, ia segera membatalkan puasanya. Ia melepas kerudung yang sudah rapi, untuk berwudhu lalu shalat.

Setelah shalat, Abid belum juga pulang. Risel mengirimi pesan, tapi tak dibaca. Akhirnya ia menelepon Abid. Dering ke tiga, Abid mengangkatnya. “Assalamualaikum, ada apa?” Risel mengumpat dalam hati. Masih bertanya ada apa? Huh!

“Waalaikumussalam. Mas kok belum pulang?”

Iya, lagi ada urusan penting di luar. Kenapa telepon?

“Urusan apa? Mas udah buka, kan?”

Sudah. Barusan makan sate ayam. Mas tutup, ya. Jangan nunggu, Mas pulang malam banget sepertinya.”

Sambungan diputus oleh Abid. Risel meletakkan ponselnya menjauh, ia kesal. “Jangan pernah berjanji kalau tak kau tepati!”

Risel akhirnya memasak mie instan. Ingatnya akan buka puasa di luar makanya ia tak masak. Ia hanya membuat sedikit sup untuk Alfath yang sudah tandas. Ia makan dalam hening, sesekali celoteh Alfath yang membuyarkan.

“Al, Bobo yuk!” Risel mengajak Alfath tidur setelah melaksanakan shalat isya. “No no no!” Alfath masih bermain dengan robot. Lalu berlari mengelilingi ruang tamu. “Al, Bobo yuk. Jangan banyak lari, nanti muntah.” Benar saja, Alfath terbatuk dan langsung muntah. Matanya memerah, mengeluarkan air mata.

“Baba Huaaaaaa Baba!” Alfath menangis memanggil Babanya. Biasanya Abid yang menenangkan ketika Alfath muntah karena kelelahan berlari. Tapi malam ini Abid belum pulang, membuat hati Risel mencelos.

“Sayang, cup cup cup. Tidur yuk. Ammah bacain cerita mau?” Alfath tak menjawab ia masih menangis meskipun semua pakaiannya sudah berganti.

Risel langsung menggendong Alfath, menidurkannya dalam pelukan. Ia tepuk-tepuk bokongnya sambil disenandungkan shalawat. Akhirny, bocah aktif itu terlelap.

Suara motor membangunkan tidur Risel yang sama sekali tak nyenyak. Lalu suara langkah sepatu mendekat, membuka kunci pintu lalu masuk. Risel langsung keluar, menemui Abid.

“Pulang, Mas?” Abid mendongak. Ia meletakkan sepatunya, lalu duduk kembali di sofa ruang tamu. “Belum tidur?”

“Dari mana, Mas?” Risel balik tanya. Abid gelagapan, “Ya tadi aku bilang aku ada urusan.”

“Urusan apa?”

“Kerja, lah. Apa lagi?” Risel melihat ke luar, ada helm yang bertengger di spion motor. Seingatnyya, Abid tak pernah memakai helm selama di kawasan Batalyon. “Pergi jauh? Kok pakai helm.”

“Iya.”

“Kemana?”

“Magelang,” akhirnya Abid menjawab. Risel langsung dihinggapi banyak pertanyaan. “Ngapain, Mas? Jadi benar kan kemarin juga kamu ke Magelang?”

“Ada urusan di sana.”

“Urusan apa? Sampai aku nggak boleh tau?”

Abid terdiam. Ia menunduk lesu. “Gimana bisa aku harus percaya ke kamu kalau keadaannya memang kamu berbohong? Bagaimana bisa, Mas?” Risel mengatakannya dengan senyum sinis.

“Percaya aja sama Mas. Semuanya bakal selesai, percayalah. Jangan buat kepalaku semakin pusing mikir ini semua.”

Risel tertawa kecut, “Selama kamu belum menjelaskan dengan jujur, aku selalu menerka-nerka, Mas. Oke, aku nggak akan ikut campur urusan pentingmu ini.”

Risel berlalu ke kamar. Sementara Abid mengacak rambutnya frustasi. Ia mendengus kasar, lalu berlalu ke kamar mandi.



.
Selamat malam, :))
Semoga selalu semangat yah💪💪💪

ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang