Keadaan seperti mencekik perlahan. Menarik paksa untuk masuk ke dalam ruang gelap dan penuh hantaman. Jika dilukiskan, kaca saling menabrak, mencipta suara yang ngilu. Pecahannya berserakan di lantai, siapapun yang melintasinya akan terluka bahkan berdarah-darah.
Abid masih tergeletak di brankar rumah sakit. Pandangannya ke atap berwarna putih, mengeja asma Allah yang indah. Setiap kedipan matanya, dibarengi syukur hamdalah. Rekaman kecelakaan itu belum sempurna damai dengannya.
Begitu kepala motornya beradu dengan motor milik orang lain, otaknya berhenti bekerja. Semua menjadi gelap dan tak tersisa kepingan kejadiannya. Yang diingat hanya teriakan histeris. Lalu tangis balita, yang setelahnya menjadi gelap dan kosong.
Tuhan Maha Baik, memberi kesempatan untuk membuka mata setelah kejadian itu. Memberi kehidupan untuknya, memberi waktu agar bisa lebih lama menyiapkan bekal akhirat. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Tubuhnya membeku. Ingatannya mengorek kembali suara jeritan histeris, juga suara tangisan balita. Dimana orang itu?
“Sayang, tolong kamu telpon Satria suruh ke sini,” pintanya pada Risel yang baru saja masuk. “Kenapa? Suruh jemput?”
“Telpon aja, suruh ke sini. Sekalian biar dia yang jadi sopir.”
Tanpa babibu, Risel menghubungi Satria menggunakan ponsel Abid. Begitu ucapan salam terdengar, Risel langsung to the point.
“Alhamdulillah, akhirnya bisa pulang.” Abid diam tak menanggapi ucapan Risel. Pikirannya masih terfokus pada teriakan itu.
“Mas? Kok ngelamun?” Risel mengoyak bahu Abid. Abid langsung bangun, dan pindah duduk di sofa.
“Assalamualaikum,” salam Satria. Abid langsung berdiri, menarik Satria untuk duduk di sebelahnya. Sementara Risel masih berdiri, mengamati mereka berdua.
“Sat, kamu tau orang yang kutabrak? Dimana dia?” Satria tersenyum, “Udah, Bang. Gampang itu udah saya urus sehari setelah kejadian itu.”“Nggak bisa gitu, Sat. Saya mau minta maaf. Lanjut ke pengadilan saya juga siap, kalau memang saya salah.” Risel tercekat. “Mas! Jangan bilang gitu!”
“Terus kalau kita salah, kita mau membenarkan?” Risel terdiam.
“Sama-sama salah, Bang. Jadi nggak ada tuntutan.” Abid mengangguk saja.
Selama perjalanan pulang, Abid masih diam. Teriakan histeris itu menggema di telinganya, membuat dirinya tak bisa tenang. Rasa bersalah hinggap di dirinya, membuatnya merutuki dirinya sendiri.
“Mas?” Risel menyentuh lengan Abid, “Kenapa? Masih lemas?”
“Nggak, kok. Cuma kepikiran kejadian itu,” jawabnya. Risel menggeser duduknya, mendekat pada Abid. Ia mengusap bahu Abid, “Kata Om Satria udah selesai, jadi Mas nggak usah terlalu mikirin.” Lalu keduanya saling diam. Kecuali Satria yang mengemudi dengan mulut komat-kamit mengikuti lantunan lagu yang terputar.
Begitu sampai depan rumah, Abid turun dengan langkah tegap. Tak ada rasa lemas lagi. Sementara Risel membawa tas perlengkapan dibantu dengan Satria. Di depan pintu, Siti dan Alfath berdiri menyambut kedatangannya. Abid mempercepat langkahnya, menyalami Ibu mertuanya lalu menggendong Alfath. “Baba kangen, Nak,” katanya sambil mencium setiap inci wajah Alfath.
“Om Satria, makan dulu! Ibu saya udah nyiapin,” kata Risel yang diangguki oleh Satria. Kalau dengan Satria tak perlu lagi tawar-menawar. Jika tak ditawari, dia tak segan untuk meminta. Begitulah Satria dengan sifatnya. Makanya, Satria menjadi adik letting yang paling dekat dengan Abid.
Gurame bakar lengkap dengan sambal dan lalapan siap disantap. Satria tampak sumringah, “Alhamdulillah pas lagi lapar parah begini dikasih gurame bakar,” katanya. Siti tersenyum melihat tingkah Satria. “Nambah lagi, Satria!” kata Siti.
![](https://img.wattpad.com/cover/221745089-288-k465186.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)
General FictionIni squel dari cerita yang berjudul 'Sersan, Kau kembali' menceritakan kisah seorang Abidakarsa Abdullah dengan semua lukanya. yang pada akhirnya disembuhkan oleh Aninda Risel Fernisa, belahan jiwanya, Ibu dari anaknya. semua tak berhenti. Ternyata...