Kata

3K 317 16
                                    

Angin meniup pelan siang ini. Langit biru tampak menawan, tapi tak menarik untuk seseorang yang sedang cemas di dalam taxi. Tiada henti mengucap istigfar dalam hati. Sesekali menghela napas mencoba melerai rasa cemas. Di sampingnya, Siti memangku Alfath. Mengusap dahi Alfath yang sedikit berkeringat. Dipandangnya lekat kelopak mata yang tertutup, nyenyak.

Tak mau pedulikan apa-apa lagi. Botol susu Alfath yang tertinggal di bangku tunggu Bandara Raden Intan pun tak dipermasalahkan. Padahal membuat Siti bingung bagaimana menghentikan tangis Alfath yang ingin menyedot susu dari botol itu.

Semua ikut cemas hari ini. Herman pun mengemudi dengan tergesa-gesa saat mengantar Risel dan Siti menuju bandara. Selepas subuh, langsung menerobos embun agar tak ketinggalan pesawat. Sangking gugupnya, Risel memaksa untuk berangkat sendiri tanpa diantar Herman. Mana mungkin ada bus tujuan bandara saat matahari belum terbit!

Pukul 11.40 WIB pesawat landing di Bandara Achmad Yani. Dengan langkah terburu-buru ia menumpangi taxi menuju Rumah Sakit Bhakti Wira Tamtama. Huh, sebenarnya ia tak pernah mau untuk menginjakkan kaki di rumah sakit apalagi harus dengan hati penuh khawatir. Ia benci itu.

“Bu, Risel!” Risel menghentikan langkahnya. Siti pun ikut berdiri di sampingnya.

“Om Satria? Mana Mas Abid?” Lelaki bernama Satria itu mengajak Risel jalan menuju ruang Abid di rawat. “Bang Abid kehilangan banyak darah,” katanya membuat Risel menutup mulutnya yang ternganga.

“Astagfirullah. Gimana kejadiannya?”

“Alhamdulillah, udah dapet darahnya. Nggak tahulah, mau ke kota bawa motor tiba-tiba nabrak aja.”

Risel membuka pintu, masuk bersama Satria dan Siti. Terpampanglah tubuh Abid yang tertidur di brankar. Matanya masih memejam, entah belum sadar atau masih tertidur. “Tidur itu, Bu. Tadi pagi udah siuman, kok.”

Risel menarik kursi, duduk di sebelah Abid yang terbaring. Satria mengambil alih Alfath yang sudah bangun. Entah di bawa pergi kemana.

“Assalamualaikum, Mas?” Abid membuka mata. Matanya berbinar mendapati Risel duduk di sebelahnya. Bibirnya langsung menyembulkan senyum.

Abid masih pucat. Tubuhnya masih sangat lemas. Di tangan kanannya tertusuk oleh selang infus. “Walaikumussalam,”

Siti mendekat, “Masih lemas, Bid? Istirahat dulu, jangan banyak ngomong.”

“Kalau nggak ngomong nanti malah pada nggak ngerti, Bu.” Risel memalingkan pandangan, menatap pintu yang tertutup.

“Ibu udah makan?” Siti tertawa, “Ini malah yang sakit khawatir sama yang sehat. Kebalik, Bid. Kamu udah makan belum?” Abid tertawa pelan.

Risel melirik di atas nakas. Sebuah nampan berisi nasi dan sup sayur bening serta segelas air putih. Sudah jelas sekali sup itu hambar rasanya.

“Aku suapin, Mas,” kata Risel sambil memegang piring. Abid tersenyum, lalu sedikit menegak agar mudah untuk makan.

“Ibu shalat dzuhur dulu, ya! Kamu kalau sudah nyuapi, langsung shalat ya, Ris!” Risel mengangguk. Matanya mengekor langkah Siti sampai punggungnya tak terlihat.

“Makasih, ya udah datang.”

Risel meletakkan sendoknya, menatap Abid dengan sinis. “Aneh, istri mana yang nggak khawatir ketika suaminya kecelakaan?”

Abid terkekeh, lalu meminta disodorkan minum. “Mau ngetes kekebalan tubuh ya? Gimana, hebat dirimu atau aspal jalan?”

Abid semakin terkekeh melihat wajah Risel yang sinis tapi perhatian. “Kata-katamu sinis sekali, Sayang.”

“Kata-katamu aneh sekali, Abidakarsa!”

“Kata-kata yang mana?”

“Pikir aja sendiri!”

“Seingatku, kata-kata yang aku punya Cuma satu.” Risel menatap Abid, menunggu kelanjutan kalimat dari Abid. “Tak ada kata lain selain cinta untukmu,” lanjut Abid.
Risel tersemu malu. Cepat-cepat ia berpura-pura tak peduli. Menyuapkan sesendok nasi terakhir untuk Abid. “Aku mau shalat,” pamit Risel.

“Aku  sendirian?”

“Iyalah. Tadi aja sendiri.”

***

“Aku kira kamu bakal duduk di sebelahku sambil nangis-nangis,” celetuk Abid saat Siti sudah pamit pulang diantar oleh Satria.

“Ngapain?”

“Yah aku lihat istri-istri di luar sana begitu.”

“Jangan samain aku sama mereka.”

“Kenapa?”

“Mereka kan cinta mati sama suaminya. Lebih tepatnya saling mencintai.”

“Apa bedanya sama kita yang saling mencintai?”

“Bedanya kamu. Cintamu bercabang.”

“Yaiyalah, cinta untuk Allah, Umi, Abah, Kamu, Alfath, Ayah, Ibu, Mbak Retno.”

“Mira,” imbuh Risel.

“Berapa kali, sih aku bilang? Aku nggak suka sama dia!”

Risel hanya diam. Ia duduk di sofa, membereskan barang-barang Abid. Saat memasukkan ponsel ke tas, suara Abid menyita perhatian Risel. Abid termengap-engap seperti kesulitan bernapas. Risel langsung mendekat dengan cemas.

“Mas Abid?” Abid langsung lemas. Matanya yang semula melek menjadi terpejam. Risel menggoyang bahu Abid. Tangisnya pecah deras kali ini. “Mas Abid kenapa mas? Mas?”

“Mas? Mas? Jangan gini dong mas! Kamu udah sembuh, jangan drop lagi! Mas bangun dong, Mas!” Risel frustasi. Air matanya tumpah. Ia sampai lupa memekan tombol darurat.

Baru saja tangannya terulur untuk menekan tombol, ada tangan yang menahan. Diliriknya Abid, dengan wajah tanpa dosa. “Mas?” Abid tertawa. “Kamu bohongan?”

“Mau ngetes seberapa sayang kamu sama aku,” kata Abid tanpa dosa. Risel mendengus, “Dasar nggak jelas! Sakit kok dibuat mainan!”

“Yang barusan mainan, tapi ini dan ini,” Abid menunjuk telapak kaki kanannya dan perban di kepalanya, “Beneran sakit,”

“Heleh, dosa bohong itu!”

“Yaudah aku minta maaf, tapi kalau cintaku ke kamu sama sekali nggak bohong, apalagi Cuma mainan. Itu serius! Datangnya juga karena Allah.”

“Terserah.”

“Jangan marah, dong! Aku lagi sakit harusnya diperhatiin,” ucap Abid manja. Risel menggeleng, “Sakitmu aja pura-pura.”

“Yang tadi pura-pura.”

Risel mendekat ke Abid, menggenggam tangan Abid lalu ditariknya untuk dicium. “Cepat sembuh, Mas. Masih banyak yang harus diselesaikan. Tentang aku, kamu, dan segala kisahmu!”

ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang