Ketetapan

3.9K 377 78
                                    

Double update nih.
Khusus buat kalian.
Virtual hug yah🤗🤗



“Kapan kita berangkat, Ko?”

“Besok sore. Kamu yang berangkat,  gue mah stay. Komandan kompi kita ini ‘kan andalan,” jawab Eko santai.

Abid mengacak rambutnya, lalu menunduk memikirkan masalah yang sedang dihadapi. Satria yang pecicilan, ikut merenung juga mendapati Abid seperti orang tak semangat hidup. “Bang, berat sekali ya? Biasanya tak pernah Abang cerita masalah ke saya ataupun ke Bang Eko,” kata Satria yang sudah duduk di samping Abid. Abid hanya menanggapi dengan menoleh singkat.

“Jujur, Bang. Ini pertama kali saya merasa jadi adik bagi Abang. Ini pertama kali Abang cerita ke saya, meskipun Cuma buat ngelepas beban. Karena mana bisa orang seperti saya ini memberi solusi, kan Bang? Tapi, Bang. Ada baiknya Abang jelaskan dulu ke Istri. Besok sore berangkat, masih ada kesempatan pagi sampai siang, Bang. Coba berusaha buat hubungi dulu.” Kali ini Abid memasang telinga untuk mendengar kalimat Satria yang tak cengengesan seperti biasanya.

“Pusing saya, Sat. Rasanya penuh kayak mau tumpah otak saya.”

Eko menimpali, “Punya Allah, kan?” Abid kembali diam, menunduk merenungi jalan keluar untuk masalahnya.

Ba’da Ashar ia kembali ke rumah. Masih sama, ketika membuka pintu hanya kekosongan yang menyambutnya. Tak ada senyum manis, tak ada celoteh manja Alfath, tak ada tangan yang akan menarik tangannya. Semua terasa jomplang.

Ia membaca berulang kali alamat yang dikirim Bian. Lama-lama ia kesal sendiri, lalu membuang asal ponselnya di kasur. Bila saja tak ada perintah, ia akan pergi menemui Risel dan mengajaknya pulang kembali.

Malam yang sepi, setelah shalat isya dan membaca surat cinta dari Allah, hatinya sedikit lebih tenang. Ia meraih ponselnya untuk mencoba menghubungi Risel.

Tuuuuutttttttttttttt

Jantungnya berdetak kencang mendapati nomor Risel bisa dihubungi. Tapi sialnya sampai dering terakhir, tak diangkat jua oleh Risel. Hanya suara perempuan dari operator yang menyahut.

Abid mengetik lancar, mengirimi banyak pesan ke WhatsApp Risel.

Sayang, tolong jangan pergi kayak gini.

Aninda, Mas kangen ... pulanglah!

Mas akan jelaskan semuanya.

Angkat telfonnya.

Mas akan urus semuanya, lalu menjemputmu. Bersabarlah, jangan pikirkan aneh-aneh.

Sama sekali Mas nggak ada hubungan dengan Mira. Berani sumpah, demi Allah.

Dek, angkat telepon Mas!

Jangan dengar ucapan Mira sinting itu!

Yaudah, Mas nggak memaksa. Tapi tunggu Mas jemput ya, kita akan bersama lagi. Doakan Mas selamat dan diberi umur panjang. Baik-baik di sana, jaga Alfath. Mas akan tetap transfer ke rekeningmu untuk kebutuhan kalian. Jangan menolak!

“Terakhir dilihat lima menit yang lalu. Sayang, kenapa sih harus salah paham?”

Malam ini ia lalui dengan perasaan campur aduk. Semua berputar di otaknya. Hendak berbagi dengan Mbak Retno, ia tak mau menyusahkan. Abid memang begitu, susah untuk berbagi cerita dengan siapapun. Beruntung ia menikah dengan Risel yang siap sedia menjadi tumpahan gelisah, menjadi obat lelahnya, menjadi penyembuh lukanya. Hanya Risel, tidak ada yang lain.

ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang