Jum'at

3.3K 361 132
                                    

Ada baiknya follow akun penulis dulu sebelum membaca ya 😉


Dua puluh menit sebelum waktu shalat jum’at, lelaki berpostur tegap itu sudah buru-buru pulang. Dikeluarkan kunci dari saku celananya.

Krek

Terbukalah pintu kayu bercat hijau tua itu. Ia celingukan, “Ah ternyata belum pulang.”

Rapi sekali dengan setelan gamis koko tak lupa dengan kopiah hitam, juga tiga semprot parfum. Kakinya melangkah ke depan, menaiki motor kesayangan yang belum lama sembuh dari sakitnya.

Brum ...

Suasana jum’at memang berbeda. Selalu terasa syahdu. Apalagi, seperti saat ini—lelaki-lelaki tampan yang baru saja keluar masjid dengan wajah teduh. Meskipun kulit sedikit gelap karena terbakar matahari, tetap saja terpancar aura cerah ketika keluar dari masjid batalyon.

Ia cepat-cepat masuk ke dalam rumah, menuju kamarnya. Diambilnya ponsel yang tercolok charger. “Belum penuh juga,” gumamnya. Tangannya asik menyentuh layar ponsel, tiga detik kemudian mensejajarkan ponsel dengan telinganya.

Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan ...

Betah banget sampe belum pulang.”

***

Setelah salam pamit dengan rekan kerja, ia tancap gas lumayan kencang. Membuka pintu pun secara kasar, karena terburu-buru. Begitu masuk, wajahnya menekuk—tak sesuai harapan. Padahal, ia mengira pulangnya akan disambut dengan senyum manis dari perempuan cantik yang berhasil membuatnya selalu jatuh cinta.

“Assalamualaikum, Ma. Istriku belum minta pulang? Kalau begitu Abid besok ke sana lagi, libur.”

Heh! Risel sudah pulang tadi jam setengah sebelas sudah masuk rumah. Mungkin lagi keluar.”

Setelah memutus sambungan dengan Ani, ia menscroll, mencari kontak Citra tapi tak ada. Ia menepuk jidat, lupa bahwa tak pernah menyimpan nomor karyawan toko. Ia kebingungan. Berkali-kali menghubungi Risel, tapi tak bisa.

Lagi-lagi ia menepuk jidat. “Astagfirullah, otak gue lemot amat! Waktu itu pernah ngehubungin pakai nomor karyawannya tapi nggak kusimpan.” Jempolnya menyentuh, mencari-cari di riwayat panggilan masuk. Dua bulan yang lalu, tepat jam empat sore nomor tak dikenal menelepon. Itu nomor karyawan “Kalau nggak salah namnya Santi.”

Tuttttttttt

Tuttttt

“Assalamualaikum, Pak Abid? Ada apa ya?”

“Ini Santi?”

Iya, kenapa ya, Pak?”

“Istri saya lagi di toko nggak?”

Maaf, Pak? Ibu Risel bukannya pulang kampung ya? Tadi siang bilang begitu,”

Deg! Damn!

“Hah? Yaudah assalamualaikum.”

Abid terpaku. Ia masih berdiri, lalu menyenderkan badannya di dinding. ‘Ibu Risel bukannya pulang kampung, ya?’

‘Pulang kampug,’

‘pulang kampung’

“Ya Allah!”

“Demi apa pulang kampung?”

Ia mengangkat kembali ponselnya, mencari sebuah kontak yang ia yakini dapat memberikan info keberadaan istrinya saat ini. Tiga kali dering, orang di seberang sana menyahut, “Assalamualaikum, Abid.”

ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang