Dua minggu berlalu begitu saja. Masih di kontrakan kecil ini, Risel menepikan dirinya. Ibu dan Ayah tak ada yang tahu perihal ini. Baginya, cukup ia yang menanggung perih. Dia tak tahu bagaimana reaksi Herman jika melihat putri semata wayangnya tersakiti saat ini. Mungkin, Herman akan memaki Abid? Menyudutkan Abid? Entahlah.
Malam ini dingin sekali. Maklum saja, hujan tengah rintik-rintik saat ini. Suasana menjadi sepi, pedagang keliling yang biasanya lewat pun absen malam ini.
Risel bergerak ke dapur, hanya ada satu kompor, satu wajan, satu penanak nasi, dan lengkap dengan spatula. Kontrakan ini menyediakan itu semua, meski termasuk jauh dari kata lengkap. Risel menghela napas, lalu masuk ke kamar menyusul Alfath yang asyik dengan botol susunya.
Tak ada kegiatan lain selain bermain dengan Alfath ketika malam-malam begini. Sesekali, ia membuka word yang ada di ponselnya, menulis keluh kesahnya. Masih sama seperti dulu, bait-bait puisi tercipta setiap harinya sebagai bentuk curahan hati.
Diliriknya Alfath yang matanya mulai mengeriyip. Ia mengecup lama keningnya. Tiga hari yang lalu, suhu Alfath panas sekali. Lidahnya ruam, tak bisa menelan makanan bahkan asi sekalipun. Untuk menyuplainya, dicekoki pakai sendok. Setidaknya ia mendapat nutrisi dari asi.
Risel kebingungan setengah mati. Obat dari klinik tak manjur, semakin membuatnya cemas. Malam itu ia membuang gengsi untuk menghubungi Abid. Ia berpikir barangkali anaknya itu rindu Babanya. Tapi tak berhasil! Nomor Abid tidak aktif dari hari dimana Riri datang.
Risel yang kalang kabut, akhirnya mengodal-adul koper dan menemukan kaos Abid. Ia telungkupkan pada tubuh Alfath saat itu. Ajaib! Alfath langsung tidur nyenyak tanpa tangis rewel. Sejak saat itu, Risel selalu menyelimuti Alfath dengan baju Abid yang sengaja ia bawa.
“Ikatan kalian kuat sekali, Nak.” Diusapnya ubun-ubun Alfath. “Ammah tau, kelak kamu akan mengenalkan pada duniamu bahwa Baba adalah super hero bagimu. Baba memang luar biasa, Nak. Sikapnya membuat Ammah geleng-geleng.” Risel tertawa pelan, menertawakan dirinya yang mencurahkan isi hati pada si Kecil yang jelas tak akan paham.
“Baba dulu dingin, tertutup, mana tahu isinya banyak luka, Nak. Baba berjuang sendiri dari dia remaja, hebat kan? Mungkin, almarhum Kakek dan Nenek dari Baba, sangat bangga dengan Baba. Tapi, Baba itu lembek aslinya. Ammah nggak suka! Baba terkenal tegas di kalangan asrama, tapi nyatanya dia selalu kalut memaknai hatinya, Nak.”
“Kamu harapan Ammah, Nak. Jadilah lelaki yang tanggung jawab atas keluargamu nanti.” Terakhir, Risel mengecup lama kening Alfath. Ia ikut berbaring di sebelahnya, memeluk Alfath dan menepuk bokongnya. Nyaman.
Drettt dretttt ....
Risel menggerayai nakasnya, mencari ponsel yang bergetar. Dinyalakan lampu tidurnya, lalu duduk di tepi ranjang. Ia mengernyit, nama ‘Ayu’ yang ia baca di layar ponselnya.
“Assalamualaikum—“
“Mbak maaf aku nelepon malam-malam begini. Mbak, emang Kak Abid lagi dimana?”
“Ehm anu ... eee—“
“Coba liat instagram atau berita. Katanya prajurit dari Benteng Raider ada yang gugur! Kak Abid termasuk satgas PNG, kan?”
Deg ....
“Kamu ngomong apa, sih Yu?”
“Ya Alllah, Mbak. Coba deh liat dulu. Aku kirim linknya ya, dua prajurit, Mbak. Katanya sempat tertawan sama PNG.”
Risel membeku. Ia buru-buru memutus sambungn, lalu beralih membuka WhatsApp dari Ayu. Link berita yang sumbernya jelas. Tanpa babibu, ia langsung masuk ke laman berita itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)
Fiksi UmumIni squel dari cerita yang berjudul 'Sersan, Kau kembali' menceritakan kisah seorang Abidakarsa Abdullah dengan semua lukanya. yang pada akhirnya disembuhkan oleh Aninda Risel Fernisa, belahan jiwanya, Ibu dari anaknya. semua tak berhenti. Ternyata...