Teman Ibadah

5K 367 3
                                    

Kumandang adzan subah menggema, membangunkan mata-mata manusia yang terkatup. Perlahan membuka, lalu meregangkan otot-otot guna melerai rasa kantuk yang tersisa. Seperti alarm ampuh, semua bangun dan bergegas membersihkan diri untuk bertemu dengan Sang Pencipta.

Bayi mungil itu sudah terjaga sedari sepertiga malam. Ia menjadi alarm bagi orang tuanya untuk menunaikan shalat sunnah Tahajud. Dua rakaat yang membuat tenang dan damai. Dilantunkan banyak doa, yang berharap di-Aamiin-kan oleh semesta.

“Hey, jagoan Baba! Baba ke Masjid dulu ya, kalau Abang udah besar wajib ke Masjid sama Baba.” Abid mencium gemas pipi gembil anaknya itu. Tak ada rasa bosan untuk mengecup dengan kasih sayang. Sejak kehadiran Alfath, ia selalu berseri tak lagi merasa sendu.

“Dek, Mas ke Masjid. Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam.”

Alfath menggerakkan jemarinya, sesekali kakinya menendang bebas. Risel menggendongnya, mengecup setiap inci wajah bayi usia 3 bulan itu.  “Sayangnya Amah, minta tolong di sini sebentar ya! Amah mau ambil wudhu, terus shalat.” Risel meletakkan Alfath di box bayi lalu melangkah ke belakang untuk berwudhu.

Saat hendak salam, mengakhiri shalatnya, Alfath menangis. Setelah Risel selesai, tanpa melepas mukena ia langsung menggendong Alfath. “Kenapa sih sholehnya Amah? Amah nggak kemana-mana kok,” kata Risel menepuk-nepuk bokong bayi itu.

Suasana subuh selalu ramai bagi Risel. Alfath selalu terjaga saat subuh sampai jam enam pagi. Hal itu sangat disyukuri olehnya, sebab dia bisa membiasakan bayinya untuk bangun subuh.

Ia membawa Alfath di depan tv, lalu merebahkannya di karpet bulu. Seperti biasa, Alfath akan mendengar Amahnya bertilawah di ruang tv selepas shalat subuh. Alfath terbiasa mendengar lantunan ayat suci Al-quran. Ia selalu tenang ketika mendengar Amahnya mengaji.

“Assalamualaikum, Sayang.” Abid mencium kening Risel. Ia melabuhkan tubuhnya di samping Alfath, lalu memiringkan badan menghadap anaknya itu. “Hey, senang ya dengar Amah mengaji? Kelak, semoga kamu menjadi hafidz ya, Nak.” Risel mengembangkan senyum mendengar ucapan Abid penuh pengharapan itu.

“Biar Alfath Mas yang jagain, Risel bisa ke dapur,” kata Alfath menatap Risel. Seperti biasa, saat Abid tak ada piket, ia menjaga Alfath sementara Risel membuat  sarapan untuknya. “Kita teman ibadah, saling bahu-membahu untuk sama-sama menjalankan ibadah terpanjang ini.” Begitulah kalimat Abid yang membuat Risel bangga bersuamikan Abid.

“Abang Alfath, nanti Baba kasih tau tentang Al Fatih. Tapi, kamu cepat besar dong! Nanti kamu harus meniru Al Fatih, Nak!” Abid mengajak Alfath berbicara. Ia senang meskipun tak ada balasan dari Alfath. Bayi mana bisa ngomong ya kan?

“Abang, kasihan ya Amah di rumah ini perempuan sendiri.” Risel mendengarnya langsung tersenyum. “Apa? Abang mau adik perempuan ya buat nemanin Amah?” ucap Abid seolah Alfath mengatakannya.

“Mas, mandi atau sarapan dulu? Ini udah siap sarapannya.” Abid langsung menghampiri Risel di dapur. “Mandi dulu deh.” Risel mengangguk dan langsung menyiapkan pakaian kerja untuk suaminya. Alfath tampak tenang pagi hari ini, biasanya sudah rewel di jam segini meminta asi.

“Tumben, Nak belum minta asi?” Risel bergumam sembari mengangkag Alfath dalam pangkuannya. “Masih kenyang?” Alfath memberikan senyum manis untuk Risel yang langsung membuat Wanita itu heboh. “Ya Allah manis sekali. Uhh, makasih Sayang Amih dikasih senyuman pagi-pagi.” Suara lantang Risel membuat Abid keheranan. “Kenapa Sayang?”

“Tuh Alfath kasih senyum ke Amahnya. Manis banget.” Abid nyengir sambil tangannya memegang handuk untuk mengeringkan rambutnya. “Manis mana sama senyum Mas?”

Like Father, Like Son, Mas Abid Sayang.” Abid tersenyum gemas melihat istrinya yang sudah berani beromantis ria dengannya. “Sayang banget nggak?” Risel tersenyum manis sekali, “Sangat. Udah, sana! Bajunya di atas kasur.”

Setelah siap dengan baju loreng, Abid langsung duduk di meja makan. Risel pun mengikuti Abid. Tentu saja setelah memberi asi pada si kecil Alfath. Alfath selalu bisa diajak kompromi. Ia sudah terlelap, memberi kesempatan untuk kedua orang tuanya.

“Mas, ada seminar nanti jam 10 di Aula. Gimana ya Mas?” Abid menegak air minumnya setelah menyantap sepiring nasi. “Gimana apanya?”

“Kasihan Alfath kalau dibawa, tapi kalau nggak dibawa mau gimana?”

“Nggak usah!”

“Eh, nggak usah apa maksudnya, Mas?”

“Nggak usah hadir. Kasihan Alfath, nanti kalau dia udah lima bulan baru boleh keluar rumah.”

“Apa kata anggota kalau Bu Dankinya nggak hadir, Mas? Nggak enak hati aku.” Abid mengelap air yang ada di atas bibirnya, “Kamu ini selalu bilang nggak enak hati. Nggak papa, nanti Mas bilang sama Ibu. Pasti ngerti lah kamu ngurus Alfath tanpa pembantu.” Ibu yang dimaksud Abid adalah ketua persit Yonif 400.

“Yaudah deh. Mas hati-hati ya! Cepat pulang, nanti Alfath kangen.” Abid menyebik, “Alfath atau Amah? Sepertinya Amah deh yang rindu.” Risel tersenyum malu. Ia mengantarkan Abid sampai teras, lalu melambaikan tangan pada Abid yang mulai menancap gas motornya.

ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang