Sering berbagi cerita, berbagi lelah di teras belakang. Bergelayut mesra bercerita tentang kehidupan. Berjanji selalu menemani, selalu menyembuhkan, dan selalu mendukung. Itu tidak cukup bagi seorang Risel untuk mengenal Abidakarsa.
Semua seperti menyatu dengan udara. Cerita hidup Abid tak berhenti di situ. Tak hanya sekadar luka karena ditinggal pergi. Entahlah, sebagai wanita yang dipilih oleh Abid, Risel merasa dirinya belum mengenal Abid secara utuh.
Mereka memang berawal dari asing. Dengan keberanian seorang lelaki, Abid meminang Risel. Dengan kelembutan seorang wanita, Risel menerima untuk hidup bersama Abid. Mungkin bagi Risel mencapai titik sekarang ini telah menuntaskan fase perkenalan. Padahal tidak. Sampai saat ini, Abid masih dengan sifat misteriusnya.
Menjadi istri, Risel tetap berlaku baik pada Abid. Ia tak alpa menyiapkan segala kebutuhan Abid. Yah, meski dengan hati yang perih. Sedangkan Abid masih setia dengan diam. Suaranya hanya keluar untuk hal penting saja.
Saban malam setelah Alfath nyenyak, ia tumpahkan semua tangisnya di atas sajadah. Ia mengadu semua pada Tuhan.
“Ya Allah, apakah aku tak berhasil mengisi hati Mas Abid? Apakah masih ada Mbak Mira di hatinya? Sakit ... tapi aku hanya bisa diam.”
Setelah shalat subuh, Abid baru pulang. Risel berbaik sangka, mungkin Abid sedang piket.
“Mas, makan?” Risel mencoba bersikap seperti biasa pada Abid. Seharusnya ia yang kecewa dan marah pada Abid. Tapi, ia selalu tak bisa untuk bersikap marah pada Abid. Risel memang tak pernah sanggup untuk mendiamkan Abid.Tanpa sepatah kata Abid langsung makan. Setelah makan, ia langsung merebahkan tubuhnya. Risel menyadari, Abid memang tidak tidur semalaman karena piket.
Sikap Abid seperti semula. Tawanya hanya muncul ketika sedang bersama Alfath. Lalu setelahnya menjadi hambar.
“Mas, alarm bunyi. Udah jam tujuh, Mas” ucap Risel sambil menggoyangkan badan Abid. Abid menggeliat lalu melihat jam di nakas. Ia segera bangun tanpa sepatah kata.
“Mas, aku izin mau ke toko ya?” Abid menghentikan langkahnya sebelum masuk ke kamar mandi, “Ya.” Risel hanya tersenyum miris.
***
Udara pagi hari ini memang sejuk. Tapi tak membuat hati Risel adem. Ia bingung harus bersikap bagaimana lagi pada Abid. Permintaan maafnya hanya diberi anggukkan oleh Abid. Setelahnya, dicuekin lagi.
Seharian di toko mungkin lebih baik daripada di rumah dalam keadaan dingin. Hanya ada rengekkan Alfath, tak ada suara heboh dari Abid ketika Alfath menangis. Dia lebih banyak diam dan bersikap tenang. Sekalipun Alfath rewel, dia hanya diam. Tak ikut andil dalam menenangkan. Kalau begitu siapa yang pusing? Ya pasti Risel.
“Bu, tadi saya lihat Pak Abid lewat depan toko.” Risel menatap Citra.
“Iringan sama perempuan. Saudaranya ya, Bu?”
“Ciri-cirinya?”
“Cantik. Rambutnya sebahu, terus pakai jas dokter.” Risel tersenyum miris. Bahkan Abid tak peduli lagi dengan perasaan Risel. Persetan dengan ungkapan cinta kala itu!
“Oalah, itu sahabatnya. Tadi juga bilang ke saya kalau mau ketemu teman-temannya, mungkin bareng sama perempuan itu.” Bagaimanapun, Risel tetap harus menjaga kehormatan Abid. Ia melindungi Abid dengan berkata bohong pada Citra. Padahal Abid tak cerita ke Risel kalau mau bertemu temannya.
“Bu, Alfath sepertinya bangun,” ucap Citra yang membuat Risel segera mematikan mesin untuk memperjelas suara tangis. Ya itu suara Alfath.
“Wah anak Amah sudah bangun ya Sayang?” Risel menggendong Alfath dan dibawa turun ke bawah.
“Cit, boleh minta tolong gendongin Alfath nggak? Saya mau buatin makan.” Citra menjulurkan tangannya, “Sini ganteng!”
Risel memasukkan empat sendok oatmeal ke dalam mangkuk makan milik Alfath. Risel memang membawa perlengkapan Alfath karena ia akan pulang sore nanti. Setelah oatmeal tercampur dengan susu, Risel mengambil alih Alfath dari gendongan Citra. Suapan pertama membuat Alfath berceloteh senang. Sampai suapan terakhir, ia hampir saja memuntahkan oatmeal dari mulut mungilnya itu.
Sebelum ashar, Risel sudah berada di rumah. Ia buru-buru untuk menyiapkan makan. Alfath yang tak mau jauh dari Amahnya, terpaksa harus membuat Risel masak dengan menggendong Alfath. Dengan hati-hati ia memotong sayur untuk dimasak capcai.
Pertama kali baginya memasak sambil menggendong. Biasanya dia bagi tugas dengan Abid. Risel masak di dapur dan Abid menemani Alfath di depan televisi. Adil kan? Tapi itu tak berlaku saat ini. Abid selalu pulang telat.
Risel menata makanan di atas meja, lalu ia beralih tugas. Ia menyapu seluruh lantai rumahnya. Setelah selesai, barulah memandikan Alfath yang disusul dengan dirinya.
Suara pintu terbuka saat Risel duduk santai di depan televisi bersama Alfath yang sedang tengkurap. Ia menoleh ke ambang pintu, terlihat sosok Abid sedang berdiri melepas sepatunya. Risel menggendong Alfath, mengajak untuk menyambut Abid.
Saat melihat Abid, Risel teringat kata Citra tadi pagi. Abid bersama Mira. Ia kecewa, sungguh kecewa.
Melihat Risel yang diam tak seperti biasanya, Abid mengerutkan dahinya. Saat dia mencium kedua pipi Alfath, Risel hanya diam. Biasanya dia akan menyuruh Abid mandi terlebih dahulu sebelum mencium Alfath.
Bukan tanpa alasan Risel melakukan itu semua. Dia kalah! Yang awalnya mengalah, sekarang ia kalah. Ia tak bisa lagi berpura-pura baik-baik saja di depan Abid. Kali ini ia akan diam. Biarlah Abid sadar kalau Risel kecewa padanya.
Risel cukup sakit. Ia memang mengalah dengan Abid. Ia berusaha agar selalu memberi senyum dan sambutan ramah untuk Abid. Namun Abid tetap cuek. Hingga sore ini, Risel memilih untuk diam. Ia sebal dengan semua tingkah Abid.
Abid melangkah ke meja makan. Makanan sudah tersedia, tapi Risel belum menawarinya makan juga. Ia bingung dengan sikap Risel yang berubah sore ini. Ada apa?
Setelah makan, Abid duduk di sofa ruang tamu. Ia sengaja tak segera mandi. Ia ingin mendengar Risel menyuruhnya mandi. Tapi tak ada! Risel sibuk bermain dengan Alfath tanpa mempedulikan Abid. Abid tidak suka Risel berlaku seperti itu.
“Alfath udah makan belum?” tanya Abid sambil mencium Alfath. Masih menggunakan koko dan sarung, belum berganti pakaian santai. Setelah shalat isya di masjid, ia segera pulang. Ia ingin disambut oleh Risel. Tapi keinginannya tak terpenuhi.
Risel hanya diam. Ia tak menjawab pertanyaan Abid pada Alfath seperti biasanya. “Alfath ikut Baba yuk? Kita keluar lihat kembang api!”
“Nggak.” Abid menatap Risel. “Kamu kenapa?” tanyanya.
“Nggak peka banget sih! Nggak enakkan dicuekin?” umpat Risel dalam hati.
“Diem terus dari tadi.” Abid langsung melangkah ke dalam kamar untuk berganti pakaian.
“Aku maafin kamu.” Risel meremas jemarinya. Ia ingin berteriak keras memaki Abid detik ini juga. Tapi ia sadar tak boleh melakukan hal itu.
“Yaudah.”
“Saya tanya kamu kenapa?” tanya Abid penuh penekanan.
“Saya nggak apa-apa.”
“Saya? Sejak kapan kamu menyebut diri kamu dengan sebutan ‘saya’?”
“Sejak tadi.” Risel membawa Abid masuk kamar lalu membaringkan di sebelahnya. Risel menenggelamkan wajahnya pada bantal lalu bahunya bergetar. Ia tumpahkan air matanya di bantal. Sementara Abid berdiri di ambang pintu. Ia tahu Risel menangis di balik bantal itu. Abid merasa bersalah pada Risel. Bukannya mendekat, Abid malah memilih keluar untuk menenangkan pikirannya yang tak menentu.
Selamat sore guyssssss
Ada yg nunggu update ini? Wkwkwk

KAMU SEDANG MEMBACA
ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)
Ficção GeralIni squel dari cerita yang berjudul 'Sersan, Kau kembali' menceritakan kisah seorang Abidakarsa Abdullah dengan semua lukanya. yang pada akhirnya disembuhkan oleh Aninda Risel Fernisa, belahan jiwanya, Ibu dari anaknya. semua tak berhenti. Ternyata...