Dari Orang Lain

3.1K 300 4
                                    

Hampir saja terlupa. Kue ulang tahun untuk Ibu masih tergeletak di atas meja ruang tamu. Dengan sigap, Risel mengambil lalu menaruhnya di kulkas.

“Duh Pintarnya anak Sholeh, bangunnya nggak nangis ya?” Risel tersenyum bangga melihat anaknya mengerjapkan mata tanpa suara tangis. Ia melirik jam, pukul 15.00 WIB.

“Wangi anak Amah ini,” ucapnya sembari menghujani pipi Alfath dengan kecupan. Alfath pun tertawa geli menampakkan deretan gusi yang belum tumbuh gigi itu.

“Assalamualaikum.” Risel berhenti mengecup Alfath. Dengan cekatan ia mengambil kerudung di lemari lalu memakai sebelum membukakan pintu.

“Waalaikumussalam, cari siapa?” Ia sangat terkejut. Tamu perempuan cantik dengan pashmina abu muda di kepala. Perempuan itu tersenyum.

“Cari Mbak Risel hehehe,” katanya.

“Oh, silahkan masuk.”

Risel masih menatap heran Ayu yang tiba-tiba datang ke rumahnya. Setelah Ayu duduk, Risel ke dapur untuk membuatkan sirup.

“Diminum, Yu.” Ayu pun meneguk sirup jeruk yang disuguhkan Risel.

“Ada apa?” tanya Risel sambil memainkan jemari Alfath di pangkuannya. Lagi-lagi Ayu tersenyum. Tapi bagi Risel, senyumnya itu memiliki arti yang tak tau apa itu.

“Aku mau cerita, Mbak.” Risel mengerutkan dahinya. “Tentang apa?”

“Tentang aku sama Kak Abid.” Risel tercekat. Sedikit perih di hatinya. Ia tidak sanggup mendengar jika perempuan di depannya ini memiliki hubungan khusus dengan Abid.

“Saya Ayu Pradipta. Perempuan yang pernah ditolak sama Kak Abid. Waktu itu Kak Abid bilang dia udah punya pacar yang lagi sekolah di kesehatan. Dari situ saya menarik kesimpulan bahwa Kak Abid akan menerima saya jika saya menjadi dokter. Dan see, saya sekarang menjadi dokter. Tapi ternyata takdir tak memihak kepada saya. Kak Abid sudah menikah.”

Risel menatap Ayu yang sedang bercerita. Ada guratan kecewa di sana. Pantas saja ia memberi anyelir kuning untuk Abid. Ternyata ia pernah dipatahkan oleh Abid.

“Saya dulu janji dan bertekad buat dapetin Kak Abid,” katanya tegas. Risel sakit hati dengan ucapannya.

“Apa maksudnya?” tanyanya dengan nada tak kalah tegas. Ayu tersenyum sinis, “Itu dulu, Mbak.”

Risel menghela napasnya pelan. “Tapi jangan tenang, Mbak. Justru kamu harus menjaga Kak Abid.” Risel kembali dibuat bingung oleh Ayu.

“Waktu itu saya lulus SMA, saya tau satu hal dari Kak Abid. Ternyata di mencintai Mbak Mira. Bahkan sangat,” katanya menatap mata Risel.

“Aku tau,” potong Risel.

“Ternyata itu alasan dia nolak saya. Dia ngejar Mbak Mira. Tapi kasian, Mbak Mira nggak balas cinta dia.”

“Aku udah tau tentang itu,” kata Risel dengan nada malas.

Ayu tertawa sedikit kencang, “Kamu itu nggak tau apa-apa, Mbak. Baru kenal Kak Abid belum ada dua tahun kan?”

“Apa yang belum saya tau?” tanya Risel dengan geram.

Alfath hanya berceloteh tak jelas. Ia tak tahu jika Amahnya sedang dibuat sebal dengan perempuan bernama Ayu itu.

“Cinta pertama itu susah dilupain! Dan cinta pertama Kak Abid itu Mbak Mira.” Risel tertohok. Ia bertanya dalam angan. Apakah benar?

“Mbak jangan marah sama Ayu. Saya nggak ada niat buat daptein Kak Abid setelah dia menikah. Tapi saya minta Mbak hati-hati. Kadang yang terlihat baik itu belum tentu baik. Yang terlihat jahat juga belum tentu jahat. Seperti saya. Pasti Mbak mengira kalau saya mau ganggu Kak Abid ya? Nggak! Saya Cuma mau kasih anyelir kuning itu simbol sakit hati saya. Setelah itu sudah berakhir.”

Risel mencari guratan dusta di wajah Ayu. Tapi tak ada. Sepertinya ucapan Ayu memang benar apa adanya. “Terus?”

“Kita nggak tau sakit hati Mbak Mira saat calon suaminya mencintai perempuan lain itu sudah sembuh atau belum. Kita juga nggak tau kan kalau lelaki itu mudah tergoda? Apalagi kalau cinta pertamanya datang lagi.”

“Maksud kamu?”

“Saya nggak bilang kalau Mbak Mira bakal ganggu Kak Abid. Tapi saya hanya curiga. Dia belum menikah, pasti nggak semudah itu dia melabuhkan hati setelah ditinggal pergi calon suaminya.”
Ayu berdiri, menyangkleng tasnya di pundak.

“Saya mau bilang kalau saya nggak akan jadi duri di dalam pernikahan kalian. Cinta saya tulus untuk Kak Abid. Bukankah mengikhlaskan itu yang terbaik? Maaf, ya Mbak saya pernah mencintai Kak Abid. Tapi tenang aja, itu sudah berlalu.”

“Lebih baik Mbak tanya sama Kak Abid hubungannya dengan Mira. Saya pamit ya, pasti bentar lagi Kak Abid pulang. Bye bye Dedek gemeshhh,” pamit Ayu sambil mengelus puncak kepala Alfath.

Risel masih mematung setelah Ayu keluar dari rumahnya. Sudah lama ia tak mendengar kabar dari Mira. Detik ini otaknya penuh penasaran. Mungkinkah Abid masih menyimpan perasaan untuk Mira?

“Ya Allah, lindungilah rumah tangga Hamba.”

***

Tak ada yang beda dari hari sebelumnya. Setelah memandikan Alfath, ia membersihkan rumah. Tak lupa menyiapkan makanan untuk Abid. Ah, ada yang beda. Kondisi hatinya. Sedikit sakit mengingat bahwa Mira adalah cinta pertama Abid. Tapi, ia tak boleh egois. Bukankah cinta pertama Risel juga bukan Abid? Melainkan Rayyan.

Risel menyambut kepulangan Abid. Lalu menggiring Abid untuk makan. Setelah itu mendorong pelan tubuh Abid agar segera mandi sebelum mencium Alfath.

“Ayo,” kata Abid setelah berpakaian rumahan.

“Kemana?” Risel mengernyitkan dahinya.

“Katamu minta diceritakan semuanya.”

Risel tersenyum sinis, “Dari orang lain.”

“Maksudnya?”

“Aku udah tau dari orang lain, bukan dari Mas Abid. Maaf, Mas.”

Abid menarik Risel untuk duduk di teras belakang. Meninggalkan Alfath yang sedang tengkurap di depan televisi.

“Dari Ayu, Mas,” ucap Risel. Abid membelalakkan matanya. Ia terkejut mengetahui bahwa Ayu dagang menemui istrinya.

“Dia bilang apa? Jangan sampai dia ngarang cerita,”

“Nggak boleh suudzon, Mas. Dia cerita tentang kamu yang nolak dia. Jahat ih kamu, buat bocah SMP sakit hati,” ujar Risel dengan senyum yang dipaksa. Abid tahu itu senyum palsu.

“Biar kamu dengar dari Mas.”

Risel mengalihkan pandangannya. Ia menatap ke depan. “Benar dia memang pernah kutolak waktu itu. Dan waktu itu dia ngasih anyelir. Katanya masalah kita bakal selesai kalau aku nerima anyelir itu. Tapi awalnya aku nolak. Aku jaga perasaan kamu. Nggak mungkin aku nerima bunga dari wanita lain,” Jelas Abid sambil menggenggam jemari Risel.

Risel tersenyum kecut, “Nggak papa lah, kan lumayan dapet bunga dari Ibu Dokter.”

“Sayang, please jangan buat Mas ngerasa bersalah.”

“Jadi Mas nggak salah, ya?”

“Terserah!” Abid melepas genggamannya. Ia berlalu meninggalkan Risel duduk sendiri di bangku teras belakang.

Air mata kepedihan Risel jatuh. Ia belum bisa memaklumi sikap Abid. Abid memang mudah emosi. Yah, meskipun marahnya seorang Abid tidak bermain tangan. Hanya saja, didiamkan oleh Abid lebih mengerikan bagi Risel.

“Anak kamu nangis!” teriak Abid dari dalam. Risel menghapus air matanya lalu beranjak.

“Ini anak kita!” cetus Risel saat menggendong Alfath. Ia mengabaikan Abid. Dengan langkah cepat ia masuk ke dalam kamar lalu menutup pintu.

Begitu pintu tertutup, tangisnya tumpah. Kini dua pasang mata itu sama-sama mengeluarkan air mata. Bedanya, Alfath menangis dengan suara lantang. Sedangkan Risel tanpa suara.

ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang