Hanya denting jam yang terdengar. Rumah ini menjadi sunyi setelah mobil Avanza milik Herman melesat pergi. Bukan. Bukan itu yang membuatnya sunyi. Tapi ditinggal oleh Abid.
Ia duduk di sofa ruang tamu, menatap nanar ke arah pintu. Hatinya seperti dicubit. Sakit sekali. Ia menyenderkan kepalanya, memejamkan mata untuk menetralkan perasaannya yang berkecamuk. Apa yang harus dilakukan? Apakah dengan pergi semua bisa menjadi selesai?
Angin dari luar menyelinap masuk melalui ventilasi. Suara kicau burung terdengar samar. Sesekali suara deru motor yang melaju kencang di depan rumah. Belum lagi suara motor yang kanlpotnya melengking. Bukan kenyamanan yang dirasa, tapi malah sesak.
“Assalamualaikum,” Suara bariton itu membangunkan Risel dari dunia sesaknya.
“Waalaikumussalam,” Matanya terbelalak. “Eh?”
“Om Herman ada?”
“Aduh, lagi nggak ada. Ada perlu apa, ya?”
Lelaki itu membuang napas, sedikit kecewa orang yang dicari ternyata tak ada. “Yah, kemana, Ris?”
“Ke Bandara.”
“Ha? Om Herman mau kemana?”
“Nganter suamiku, pulang ke Semarang.”
“Oh. Ini aku nggak disuruh masuk?” Bian mengangkat kedua alisnya. Risel menampakkan wajah tak enak, “Maaf, Ian. Bukan apa-apa, aku lagi sendiri di rumah. Maaf, nanti jadi fitnah.” Bian menggaruk tengkuknya. Ia merasa tertohok oleh ucapan Risel.
“Hehehe, iya kamu benar. Aku pamit, ya.” Risel mengangguk, membiarkan Bian melangkah pergi. Setelah motor Bian keluar dari halaman rumah, Risel segera menutup pintu.
Ia tersenyum pahit. Rasanya terlalu berat untuk menghadapi semua kenyataan yang belum tau seperti apa akhirnya. Rasanya ingin berhenti sejenak dari penatnya. Ingin mengistirahatkan hatinya yang terlalu sering tergores. Bukan lagi tergores, kini hampir remuk.
***
Risel terbangun begitu mendengar suara mobil masuk ke garasi. Ia membenarkan selimutnya, lalu berlalu membuka pintu.
“Assalamualaikum,” salam Herman dan Siti bersamaan. Risel memasang senyum palsunya, “Waalaikumussalam. Eh, Al bobo ya?”
Herman menggendong Alfath, menidurkan di kamar Risel. Tak lupa mengganti celana berbahan denim dengan celana bahan katun agar tidurnya nyenyak.
Herman keluar, menuju dapur untuk membasahi tenggorokannya. Sementara Siti sudah selesai mengganti pakaian. Risel melepas gelungan rambutnya, menaruh ikat rambut di atas nakasnya. Baru saja ia duduk di ranjang hendak merebahkan badan, Siti masuk. Pandangan Risel tersita oleh paper bag di tangan Siti.
Siti mendekat, duduk di bangku rias milik Risel. Paper bag itu diletakkan di atas meja rias. Risel memutar tubuhnya menghadap Siti, menatap dengan penuh tanya. “Apa itu, Bu?”
Siti membenarkan duduknya. Menaikkan kaki kanan ke atas paha kirinya, lalu memijat pelan betisnya. “Ini dari Abid. Tadi sebelum ke Bandara dia minta berenti di super market dekat Taman Kota itu. Ibu juga nggak tau isinya apa, coba deh buka!”
Risel berdiri, mendekat ke meja rias. Pelan-pelan ia buka paper bag dari Abid. Satu-satu ia keluarkan dari wadah itu. Sekotak susu balita untuk Alfath, dua bungkus oreo rasa vanilla, dan sebungkus kopi hitam. Satu lagi, satu pack kopi good day.
“Udah tuh Si Abid perhatian sama kamu.” Risel memberi senyum palsu lagi.
Ia memasukkan kembali apa yang dibelikan oleh Abid. Secarik kertas tak sengaja jatuh. Ternyata ada pesan.

KAMU SEDANG MEMBACA
ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)
General FictionIni squel dari cerita yang berjudul 'Sersan, Kau kembali' menceritakan kisah seorang Abidakarsa Abdullah dengan semua lukanya. yang pada akhirnya disembuhkan oleh Aninda Risel Fernisa, belahan jiwanya, Ibu dari anaknya. semua tak berhenti. Ternyata...