Kepingan Masa Lalu

3.3K 307 25
                                    

Makanan di atas meja tersaji, memanggil-manggil untuk segera disantap. Tapi rasanya tak menarik lagi kendati perut meronta untuk diisi. Biar. Detik ini elu hatinya sedang menjerit. Saraf keegoisan mulai memuncak, mengakibatkan patahan tentang harga diri.

Rahangnya mengeras, mengepalkan jemari lalu meninju dinding tak bersalah. Kalap! Ia merasa telah disakiti sesakit-sakitnya. Memang hatinya ada untuk disakiti?

Mbak Ira masih sembunyi di balik dinding pemisah antara ruang makan dan ruang televisi. Ia duduk diam sambil meremas jemari penuh ketakutan. Sedang Alfath masih tenang sambil merangkak pelan.

Tubuh Ira semakin bergetar mendapati pemilik dari rumah yang ia datangi setiap pagi. Ia menangkap sorot kemarahan dari mata lelaki itu. Ia semakin tak berani mengangkat kepala, terus tertunduk sampai langkah Abid mulai mendekat.

“Udah berapa lama?”

Glek! Mbak Ira menelan ludah kasar. Ia takut. Alfath pun tak bisa menjadi pelindung. Hanya Risel yang mampu melindungi dari amukan Abid nantinya.

“Jawab, Mbak!”

“Ee .. anu ...”

Brak! Abid mendorong kursi kecil milik Alfath sampai mentok ke dinding. Ia dipenuhi emosi pagi ini.

“Empat bulan?” tanya Abid dengan ketus.

Mbak Ira perlahan mengangguk. Ia masih menunduk, tak ada keberanian untuk melihat lawan bicaranya. Benar-benar seperti di tepi jurang. Ia takut terperosok oleh jawabannya sendiri. Ia meremas ujung kerudungnya, selalu memohon dalam hati agar Risel segera pulang. Tapi mustahil! Risel baru saja keluar dari rumah ini. Jikalau pulang, biasanya jeda dua jam dari kepergiannya.

“Hebat!” Abid meraup mukanya. Kakinya menendang kursi lagi. Ia benar-benar kecewa saat ini.

“Pulanglah, Mbak,” suara Abid mulai melembut. “Nanti masalah gaji, biar diurus sama istri saya.” Mbak Ira takut-takut menatap Abid. Ia mencari kebenaran dari apa yang diucapkan oleh Abid.

“Alfath biar saya yang gaja.” Mbak Ira bernapas lega. Tanpa mengucap sepatah kata, ia berjalan pelan keluar dari rumah tempatnya bekerja. Sebelum pergi, ia sempat mengusap kepala Alfath. Bagaimana pun, balita itu sudah bersama dengannya meski hanya empat bulan.

Abid kalang kabut. Ia dipenuhi emosi sampai lupa cara meredam emosinya itu. Ia berkali-kali memukul dinding, sampai pukulan terakhir yang membuat Alfath menangis.

Abid mengulurkan tangan, mengusap pipi Alfath lalu menariknya dalam gendongan. Masih menangis. Abid berlalu ke dapur, menemukan susu dalam botol yang masih hangat. Ia langsung memberi kesempatan Alfath untuk mengenyut susu di botol itu.

Matanya memandang Alfath lekat, ia bertanya-tanya apa yang anaknya rasakan saat ditinggal oleh Ibunya setiap hari. Mengingat itu, emosi Abid langsung memuncak. Arghhh!

“Berapa lama, Nak kamu bersama orang lain setiap pagi sampai sore? Baba nggak habis pikir Amahmu itu tega.”

Abid merasa tak dihargai. Risel berani mengambil keputusan tanpa mendiskusikan deengannya terlebih dahulu. Bila saja hari ini Abid tidak diberi cuti, mungkin ia tak akan tahu kebenaran yang disembunyikan istrinya.

Pagi tadi, Abid memang tidur setelah shalat subuh. Badannya sangat lelah karena dia hanya sempat tidur satu jam.
Di tengah tidurnya yang mulai terganggu oleh tangis Alfath, ia terbangun. Mendengar suara salam dari perempuan yang tak lain adalah Risel. Begitu ia keluar kamar, ia terkejut ada wanita yang lebih tua belasan tahun darinya sedang meletakkan botol susu di atas meja kabinet dapur.

Abid melangkah ke meja makan. Matanya disajikan oleh makanan yang tertata rapi, juga note kecil yang sudah pasti dari Risel. ‘Selamat pagi, Suamiku. Sarapan yang banyak dan selamat bekerja!’

ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang