“MasyaAllah, kabar baik nih. Tapi nggak bisa janji bakal dateng, Des.” Yang diajak bicara hanya mengangguk, memaklumi ketidak sanggupan Risel.
Risel meletakkan undangan pernikahan dari Desi, sepupu Abid. Ia berkunjung ke rumah Risel; setelah mengunjungi calon Nenek Mertuanya. Bukan di Semarang, tapi di Sala Tiga.
“Kak Abid lagi kerja, ya?”
“Iya, abis ashar nanti pulang. Dimakan Des,” tangan Risel meempersilahkan Desi dan calonnya untuk menikmati kue kering yang disuguhkan.
“Yaudah, Mbak aku pamit ya. Ini langsung mau terus ke Jakarta.”
“Wah, nggak nginep aja?” Risel berbasa-basi. Dia jelas tau bahwa Desi akan menolaknya.
****“Nih, dari Desi.” Risel menyerahkan undangan pernikahan itu pada Abid. Mereka sedang menonton acara televisi yang sedang membahas mengenai pemerintah.
“Lah? Desi anaknya Wan Toha?”
“Iya. Nggak bisa datang, kan? Transfer aja buat Desi.” Risel mendekap Alfath yang berjalan dari arah Abid. Lalu tawanya muncul.
“Yaudah gampang. Sini, Nak!” Abid merentangkan tanggan, menyambut Alfath yang jalannya masih tertatih. Keduanya langsung berbagi tawa, melenyapkan suara dari televisi yang sedang menyala. Risel langsung menarik Alfath, memberinya susu.
Risel mencoba untuk ikhlas. Ia berusaha menghempas kekecewaannya. Biarlah mengalir apa adanya, sampai sejauh mana Abid akan menyembuhkan luka Risel.
Selepas isya, Abid pamit untuk piket malam. Setelahnya Risel hanya mendekap Alfath yang sebentar lagi akan masuk ke alam mimpi. Baru saja matanya terpejam, terdengar suara ketukan pintu. Ia melirik jam, ternyata belum larut.
“Aku mau bicara,” Itulah kata pertama yang ia dapat dari wanita yang berdiri di ambang pintu. Risel terdiam sebentar lalu berkata, “Apa yang mau Mbak bicarakan?”
Keduanya duduk di sofa berhadapan. Satu gelas teh hangat diabaikan oleh tamunya. Mungkin pembicaraannya kali ini sangat penting.
“Aku minta maaf pernah berniat jahat.” Risel mengerutkan dahi, menatap lekat perempuan yang hampir membuat rumah tangganya rusak.
“Aku pernah niat buat ngehancurin kalian. Tapi jujur, aku mencintai—“
“Mencintai Mas Abid?” Risel memotong kalimat Mira. Ia mmenunggu Mira menjawab dengan gemuruh di dada. Lalu semua seperti berhenti bergerak setelah Mira mengangguk, membenarkan apa yang dikatakan oleh Mira.
“Aku sadar kalau aku ternyata cinta sama Abid. Aku nyesal dulu nolak dia.”
“Mau kamu apa?” cetus Risel. Ia tak mau berbaik hati pada perempuan yang membuatnya sakit hati.
“Aku Cuma mau jujur. Sebelum aku nikah sama Bian, aku mau kamu ngerti ini semua.”
“Cepat sadar, Mbak. Jangan sakiti Bian. Dia orang baik,” kata Risel tanpa ragu.
“Karena Bian mantan pacar kamu?” Risel tersentak. Mengapa ia bisa bilang begitu? Tau apa dia tentang Risel?
“Sama sekali aku nggak pernah pacaran. Hanya ada dua lelaki yang berhasil membuatku luluh. Pertama Rayyan, dan yang terakhir adalah suamiku.”
“Iya tapi Bian suka sama kamu! Aku juga sakit hati calon suamiku lagi-lagi suka sama kamu. Dulu Bang Rayyan, dan sekarang Bian. Kamu selalu ada di lingkar kehidupanku ya? Aku juga heran garis takdir kenapa mengikat kita.”
Risel membuang muka, “Jangan nyalahin takdir. Sama-sama belajar aja, belajar jadi orang baik aja dulu. Nggak ada yang salah sama perasaan kamu, tapi cara kamu yang salah. Kamu nggak salah suka sama Mas Abid. Tapi kamu salah kalau sampai mau menjadi milik Mas Abid. Kamu juga bentar lagi jadi istri Bian, apa kamu nggak kasian sama Bian?”

KAMU SEDANG MEMBACA
ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)
General FictionIni squel dari cerita yang berjudul 'Sersan, Kau kembali' menceritakan kisah seorang Abidakarsa Abdullah dengan semua lukanya. yang pada akhirnya disembuhkan oleh Aninda Risel Fernisa, belahan jiwanya, Ibu dari anaknya. semua tak berhenti. Ternyata...