Aku Tunggu

3K 303 0
                                    



"Terima kasih, Mbak." Risel memberi senyum untuk sopir taxi. Selepas shalat dzuhur, ia bergegas untuk mengunjungi toko kue. Tidak lupa setelah mengirim pesan pada Abid untuk izin.



Toko berlantai dua itu sama seperti biasa. Tidak terlalu ramai, tapi selalu ada yang singgah. Dari depan terlihat pegawai toko yang sibuk melayani pembeli. Menawarkan kue-kue bervarian rasa.



"Assalamualaikum," sapa Risel begitu memasuki toko. Para pegawai langsung memberi senyum untuk Risel. "Ibu, mau ke atas langsung? Biar nanti saya bersihkan kasurnya," tawar perempuan muda berhijab senada dengan seragam pegawai.



"Nggak usah, Citra. Saya mau ke belakang dulu."



Alfath menjadi tawanan di toko ini. Sedari pertama masuk, banyak yang memaksa untuk menggendong. Bahkan, sampai bayi usia lima bulan itu menangis takut.



"Saya ke atas dulu, nidurin Alfath," pamit Risel setelah puas melihat proses pembuatan kue di dapur tokonya.



Ia menaiki tangga, menggendong si Gembil Alfath untuk menuju ruang pribadinya di atas. Begitu masuk, Alfath langsung dibaringkan di kasur. Ditepuk-tepuk bokongnya, sembari dilantunkan sholawat agar segera menyelami mimpi.



Hari ini Alfath ceria sekali. Tak ada rewel sejak tadi pagi. Karena itu, siang ini dia mudah terlelap setelah merasakan lelah karena polahnya yang sangat aktif.



"Mas Abid kenapa ya? Kok aku ngerasa dia lagi nyembunyiin sesuatu tentang Ayu itu."

Ia mengambil ponselnya di tas. Sekali pencet, ia menghubungi suaminya. Sampai dering kelima tak ada tanda-tanda suara jawaban. Ah, mungkin Abid sedang sibuk. Lagian ini sudah bukan jam istirahat.



Pesan yang Risel kirim sebelum pergi ke toko pun belum dibalas. Hanya dibaca. Risel geram sendiri dengan sikap suaminya itu.


"Ngapa sih Mas Abid?" gumamnya.



Perlahan ia turun dari ranjang saat Alfath sudah nyenyak. Ia turun, memilih menyibukkan diri di dapur untuk membantu para karyawannya itu.



Tangannya lihai mengaduk adonan dengan mixer. Dengan telaten, ia masukkan lelehan cokelat ke dalam adonan. Ia sangat menikmati prosesnya dari awal sampai akhir. Mulai memasukkan telur, gula, baking powder, mentega sampai tepung kue. Setelahnya, dengan jemari kreatifnya ia menghias satu loyang kue dengan krim.



"Ini kue saya bawa pulang nanti ya," ucap Risel pada pegawai yang sedang memasukkan bolu ke dalam mika. "Pak Abid ulang tahun,Bu?" tanya Citra saat melihat Risel menuliskan ucapan selamat ulang tahun di atas kepingan cokelat.



Risel tersenyum, "Bukan. Ibu saya ulang tahun."



"Wah, Ibunya berkunjung ke Semarang kah, Bu?" Risel menggeleng. "Video call," jawabnya singkat.



Selama ia menikah, belum pernah ia pulang ke Lampung. Hari raya kemarin ia sedang mengandung Afath, jadi Ibunya melarang untuk pulang kampung. Padahal, ia sangat rindu dengan Ibu. Ia ingin bercerita tentang kehidupannya yang sekarang.



Alfath belum pernah bertemu langsung dengan neneknya. Hanya melalui panggilan video saja. Itupun sangat jarang karena Alfath selalu merengek.


"Semoga hari raya besok Risel bisa pulang," doanya dengan suara lirih.



Selesai memasukkan ke dalam mika, ia naik ke atas untuk mengajak Alfath pulang. Masih dalam kondisi tidur, Risel menggendong Alfath. Kalau nunggu bangun, pasti masih lama.



"Saya pulang ya, semangat kerjanya! Assalamualaikum."


Para pegawainya berhenti dari aktivitas sejenak, "Waalaikumussalam, hati-hati ya Dedek Al."



Risel memberhentikan taxi. Ia berniat untuk berhenti di gerbang masuk asrama. Ia ingin meminta Abid untuk menjemputnya. Sekalian untuk memperbaiki hubungannya.



Dengan sedikit kesusahan, menggendong Alfath dan menjinjing plastik berisi kue ulang tahun Juga tas jinjing di pundaknya. Ia melangkah, merogoh ponselnya dengan susah payah.



Diletakkan mika kuenya di atas pos penjagaan. Lalu ia menelpon Abid.



"Izin, darimana Bu?" tanya prajurit yang sedang piket.



Sambil menunggu Abid mengangkat panggilannya, Risel menjawab, "Dari toko, Om. Ini nunggu suami."



Dua kali dia menghubungi Abid. Namun tidak di angkat. Sebal! Risel menggerutu jengkel. Mau jalan ke rumah, jauh. Mau nunggu Abid, tapi tak pasti. Dirinya bimbang.


"Mau diantar, Bu?" tawar Pratu Heri. Risel menggeleng, "Nggak usah, Om. Saya numpang nunggu di sini ya?" Pratu Heri mengangguk.



Berulang kali ia menghubungi nomor Abid, tapi nihil. Tak ada jawaban.



Risel mengelap keringat di dahi Alfath. Lalu memakaikan Alfath topi loreng hadiah dari Abid kala itu. Ia memilih untuk berjalan. Tak peduli sejauh apa.



Di pertengahan jalan, ia menatap heran. Di tepi lapangan, Abid berdiri di hadapan perempuan yang asing bagi Risel. Ia memincingkan mata, meneliti apakah benar itu Abid. Risel berjalan mendekat, dan ya benar. Itu suaminya.



Abid lalu duduk di jok motor, sedangkan perempuan itu masih berdiri di hadapannya. Mereka berbincang-bincang yang dari wajahnya terlihat serius.



"Mas, anter pulang dong!" pinta Risel dengan bergelayut manja di pundak Abid. Risel memang sengaja. Ia tak mau kalah dengan perempuan di depan Abid itu.



"Eh?" Abid terkejut. Perempuan itu pun sama terkejutnya. "Oh ini Mbak Risel ya? Kenalkan, Mbak saya Ayu Pradipta."



Memori Risel terputar. Ia ingat, nama Ayu yang ditelepon Abid tadi pagi.


"Iya, Ayu. Ayu temannya Mas Abid ya?"



"Iya, Mbak. Memang kemarin Kak Abid belum cerita tentang saya waktu ngasih anyelir itu ke Mbak?" Risel tersentak. Namun ia segera menetralkan. "Oh, Mas Abid membuang bunga itu. Jadi tak sempat cerita."



"Ayo, Mas. Alfath kasian kepanasan," ajak Risel. Ayu sedikit menatap Risel dengan sinis. Apalagi setelah mendengar bahwa anyelir pemberiannya itu dibuang.



Sepanjang perjalanan ke rumah, Risel memilih diam. Sementara Abid pun sama. Hanya saja hatinya sedang berkecamuk. Ia takut Risel salah paham padanya.



"Amah? Kok diem aja, tumben," kata Abid membuka obrolan. Risel menghela napas, niat hati ingin mendiamkan tapi tak bisa. Ia memang sulit untuk tidak menjawab pertanyaan dari Abid.



"Nggak papa."



"Mas bingung kalau perempuan ngomong nggak papa. Kepintaranku ini aja nggak bisa memecahkan arti 'Nggak papa'nya perempuan." Risel luluh. Ia tersenyum mendengar ucapan Abid.



"Itu tadi Ayu. Yang ngasih anyelir," jelasnya.



"Ya udah tau juga." Abid menghela napas mendapat jawaban yang sedikit ketus. Obrolan mereka pun terhenti saat motor Abid berhenti di depan rumah. Risel segera turun lalu masuk ke dalam.



Abid bingung. Padahal ia hendak kembali dinas. Tapi istrinya itu malah masuk ke rumah begitu saja. Mau tak mau Abid ikut masuk juga.



"Amah, Baba masih ada jam dinas. Ditinggal nggak papa, kan?" ucap Abid hati-hati.



"Iya, Mas Sayang. Hati-hati." Abid dibuat bingung oleh Risel. Tadi saja ia menjawab dengan ketus. Dan sekarang? Mengucap kata sayang. Abid semakin merasa bersalah pada istrinya.



"Mas, jangan lupa nanti Risel tunggu Mas pulang. Kalau aku masih menjadi tempatmu pulang, ceritakanlah semuanya." Abid terbelalak. Ia mencoba mmencerna ucapan Risel itu.



"Kok ngomong gitu?"



"Udah, sana berangkat. Aku tunggu, " katanya sambil menidurkan Alfath di atas kasur.



Abid keluar setelah mengecup kening Risel. Ia kembali ke kantor untuk menjalankan tugas. Tapi otaknya dipenuhi ucapan Risel. Ia gamang! Pertemuan dengan Ayu membuatnya merasa berdosa menjadi seorang suami.


ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang