Sebuah Pilihan

5.3K 386 2
                                    

Desember, setelah ia mendapat cuti akhir tahun, ia memutuskan untuk pulang ke Magelang. Bukan ke rumah Umi, tapi ia ingin berada di rumah Mama Ani. Di rumah itulah ia dapatkan kehangatan sebuah keluarga.

Allah menetapkan untuk bertemu dengan Risel. Abid mengulas senyum saat mengingat pertama kali bertemu Risel di makam Rayyan. Dari situ, seperti ada rasa yang aneh dalam dirinya. Risel memang masuk kriteria yang Umi sebutkan dulu. Cantik, sholeha, lembut dan penyayang.

Empat hari sudah dia berada di samping Risel sebagai teman. Ia mengatakan semua pada Risel tentang amanah yang diberikan Rayyan untuk menjaga gadis itu. Abid merasa ada yang janggal dalam dirinya. Ini tak pernah terjadi sebelumnya.

Entah apa yang membuat Abid percaya pada Risel. Ia menceritakan semua lukanya pada Risel. Ia tahu, Risel juga sama terluka. Risel juga merasa sakit ketika Rayyan mengatakan ingin menikahi Mira. Abid tau semuanya, tentang cinta Risel untuk Rayyan.

Risel seperti penawar bagi Abid. Berada di dekat Risel, membawa Abid dalam kenyamanan. Tidak, Abid tidak semudah itu untuk jatuh cinta.

“Ini aneh nggak sih? Gue bisa langsung ngajak dia nikah. Semua kayak mudah banget, orang tuanya juga langsung setuju,” gumam Abid hendak menuju rumah Risel. Ia tahu, Risel hari ini pulang ke Lampung. Dan dengan semangat, Abid akan membawa Risel ke Semarang hari itu juga untuk pengajuan.

MasyaAllah, Abangku benaran dapat ustadzah.” Kalimat itu yang sering didengar Abid ketika kembali bekerja. Setelah memboyong Risel ke rumah Umi di Magelang, ia langsung meninggalkan Risel karena tuntutan pekerjaan.

“Buruan diurus rumahnya, Bang. Masa mau jauh-jauhan, nggak rindu apa? Secara kan, masih pengantin baru masih anget-angetnya.” Abid juga merutuki dirinya sendiri yang tak segera mengurus Rumah dinas sebelum ia mengikat janji pernikahan dengan Risel.

“Rabu baru dapet.” Ya, Abid akan mendapat rumah dinas Rabu besok.

“Mantaplah, Bang! Seneng banget saya lihat Abang udah nikah. Dapet bidadari pula,” kata Satria yang langsung mendapat jitakan dari Abid.

***

Abid terlalu picik untuk urusan hati. Sampai sekarang ia belum memantapkan rasa cinta untuk istrinya. Di awal pernikahannya, ia sudah membuat Risel menangis. Ia tak tega sebenarnya, tapi ego lelakinya sedang tidak ingin menjinak.

“Rayyan, Gue nggak tau perasaan Gue ke Risel. Gue sayang sama dia, mungkin cinta. Tapi Gue takut, takut dia nggak nerima cinta Gue. Lo beruntung, dicintai oleh wanita sebaik dia. Gue janji, nggak bakal buat dia nangis,” ucap Abid di samping batu nisan Rayyan.

Tapi itu hanya sekadar ucap. Seminggu ini Abid membuat Risel menangis sedu. Tentu saja setelah Risel menemukan folder di laptop Abid. Semua kebenaran terungkap. Oh, bukan. Itu tak semuanya benar. Abid memang mencintai Risel, bukan karena amanah dari Rayyan.

Risel wanita yang baik, selalu mencoba berbakti pada Abid. Abid tahu, Risel terluka karenanya. Sebagai lelaki, ia merasa benci dengan dirinya sendiri. Semua yang dikatakan Rayyan benar. Risel memang wanita yang luar biasa. Ia menjalani pernikahan penuh luka dengan tegar. Ia selalu berkata, “Semua karena menggapai Ridho Allah.”

Abid benar-benar gamang tentang pilihannya sendiri. Hatinya luluh, melihat kelembutan Risel. Ia teraentuh melihat kegigihan Risel untuk menyembuhkan amarahnya. Setiap hari, tanpa alpa Risel menyiapkan segala kebutuhannya. Alasan inilah yang membuatnya mantap untuk memulai kehidupan baru bersama Risel. Mencoba menumbuhkan cinta di antara mereka.

“Aku mencintaimu, karena Allah.” Suara lembut Risel membuat Abid berwarna. Satu dari lukanya telah sembuh. Karena Risel, ia mampu berdamai dengan kesalahan. Ia mampu memaafkan dengan ikhlas. Tentu saja melupakan segala kelam bersama Mbak Retno.

Hidupnya lebih hidup bersama Risel. Ia merasakan hangatnya kehidupan, seperti dulu saat Umi dan Abah masih ada. Mbak Retno dan suaminya, Haidar pun membuat Abid bahagia. Kakak-beradik itu sudah berdamai. Melupakan semua luka yang pernah hinggap. Bukan melupakan, tapi ia benar-benar sembuh. Semua ini karena Risel. Wanita penyembuh lukanya, yang selalu dicintai olehnya sampai kapan pun.

“Mas, tidak semua sakit harus kau sembunyikan. Ada sakit yang harus kau hadapi. Kamu bebas bagaimana menghadapi lukamu itu, tapi jangan sampai lukamu membuatmu hilang akal,” kata Risel mengelus puncak kepala Abid yang sedang tiduran di pahanya.

“Jadilah obat untuk semua lukaku, Sayang.” Abid mendekatkan kepalanya di perut buncit  Risel. “Assalamualaikum, jagoan Baba! Jadi lelaki yang tegar ya jangan seperti Baba lemah sekali.”

“Baba? Kenapa Baba?” tanya Risel. “Biar, Mas suka dipanggil Baba. Dan dia akan memanggilmu Mama.”

“Ih, Risel nggak mau. Mama itu khusus untuk Mama Ani. Risel mau dipanggil Amah, Amah yang cantik hehehe.” Abid ikut terkekeh mendengar ucapan istrinya itu.

“Kita akan mendidik dia menjadi lelaki yang sholeh. Dia akan menjadi pemimpin.” Abid mencium perut buncit Risel itu.

“Sayang, Mas ada latihan lagi. Besok berangkat.”

“Berangkatlah, Mas. Aku selalu mendukung dan mendoakanmu.” Abid menatap mata Risel. Ada semburat kecewa di sana.

“Mas minta maaf telah membawamu ke kehidupan Mas yang nggak bahagia untukmu.”

Risel meletakkan jari telunjuknya di bibir Abid, “Husttttt Risel nggak mau Mas ngomong gitu. Ini sebuah pilihan, Mas. Risel memilih ini, berarti Risel harus menerima segala risikonya. Menjadi istri prajurit memang tak pernah terbayangkan, tapi insyaAllah akan Risel lalui dengan izin Allah. Mas, bantu Risel menjadi Khadijahmu yang selalu mendukungmu.”

“Terima kasih, Sayang. Mas sangat bersyukur memilihmu menjadi istriku. Jangan banyak kerja  ya! Seminggu ke depan Mas nggak bisa jagain kalian.”

“Ada Allah, dan doamu yang selalu menggema untuk semesta. Itu cukup, Mas.”

ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang