Setelah kaki Abid melangkah meninggalkan teras rumah, Risel kembali masuk. Ia masih setia mengantar Abid untuk berangkat kerja kendati hatinya masih kecewa. Tak banyak bicara, sepasang manusia itu hanya diam. Kalaupun ada suara, itu pasti ocehan dari Alfath.
Risel menghentikan langkahnya tepat di depan lemari es. Ia menepuk jidatnya, “Astagfirullah. Lupa kue ulang tahunnya.”
Setelah menaruh kue di meja ruang tamu, ia sibuk mencari kontak Sang Ibu di ponselnya. Dengan tergesa-gesa ia segera melakukan panggilan video dengan Siti.
“Assalamualaikum, Ibu. Ibu sehat?” tanyanya begitu wajah Siti terpampang di layar ponselnya.
“Waalaikumussalam, alhamdulillah sehat. Ayahmu kemarin habis demam, tapi udah sembuh. Kamu sehat? Abid sehat? Cucu Ibu sehat? Lagi ngapain dia? Udah mamam?” Risel mengembangkan senyumnya mendengar runtutan pertanyaan dari Sang Ibu.
“Ibu, nanyanya satu-satu dong hehehe. Alhamdulillah, kami semua sehat. Ayah sakit kok nggak ngabarin Risel?”
“Halah, yang penting udah sembuh. Ayah lagi kerja, Ibu lagi nyantai dan sedikit kesepian. Tapi beruntung kamu nelpon, Ibu jadi nggak kesepian.”
Wajah Risel berubah sendu mendengar ucapan Ibunya. Ia merasa tak tega membiarkan Ibu di rumah dalam kondisi kesepian. Tapi, mau bagaimana lagi?
“Maafi Risel ya, Bu jauh dari Ibu.”
Belum sempat Risel meneruskan kalimatnya, Siti sudah memotong, “Iya, Nak. Justru kalau kamu bersikeras buat nemenin Ibu di sini, Ibu yang nggak suka. Kamu kan sudah menikah, surgamu ada di suamimu. Kamu harus ikut kemanapun suamimu pergi. Inget pesan Ibu, ya!”
“Siap Ibu Negara! Hehehe.”
“Ibu negara apanya? Anak Ibu mulai gesrek nih agaknya hehehe.”
“Bu, Risel minta maaf ya telat nelpon Ibu,” ucap Risel sembari menarik kue agar tertangkap kamera. Siti mengerutkan dahi melihat kue cokelat di hadapan Risel.
“BarakaAllah Fii Umrik, ya Ibu Sayang. Sesuai sama Ibu kok, kue cokelat tanpa lilin hehehe. Tapi sayangnya ini Cuma bisa diliat, nggak bisa Ibu rasain langsung. Nggak apa kan Bu?”
“Hoalah, Makasih ya, Nduk! Ibu kangen sama kamu jadinya.” Risel menangkap wajah Siti yang sendu. Tak lama, tangannya mengusap air mata yang jatuh dari pelupuk matanya.
“Ibu, Risel minta maaf ya belum bisa pulang. Risel kangen banget sama Ibu, tapi keadaan belum memungkinkan untuk pulang. Mas Abid sibuk, belum bisa libur.”
“Lebaran tahun ini bisa pulang? Kalau nggak bisa ya nggak apa-apa. Kapan-kapan kalau ada rezeki, Ayah sama Ibu berkunjung ke Semarang.”
“InsyaAllah, Bu. Doakan ada rezeki ya, Bu biar hari raya bisa pulang. Ibu, minta doanya ya, Bu. Belum lama, Mas Abid kena musibah.”
“Astagfirullah! Kenapa, Nak? Musibah apa?”
Risel menghela napas untuk menjelaskan, “Ada salah paham sama sepupunya Umi, namanya Wan Toha. Mas Abid ngeluarin duit ratusan juta untuk masalah ini. Makanya, akhir-akhir ini kami masih menabung. Doakan ya Bu, biar hari raya ada rezeki buat pulang kampung.”
“Ya Allah, masalah apa toh, Nduk? Kok sampe ratusan juta? Itu sepupu mertua mu? Katanya Ibu mertuamu nggak ada saudara di Jawa?”
“Iya, Bu. Udah lama nggak berkabar. Nanti Bu, Risel ceritakan. Kalau di telepon gini nggak efisien hehehe. Bu, cucu Ibu udah pintar ngoceh-ngoceh. Dia pinter, Bu. Sebelum subuh udah bangunin Amahnya.” Risel memangku Alfath, sesekali mencekal tangannya yang hendak meraih ponsel.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)
Ficción GeneralIni squel dari cerita yang berjudul 'Sersan, Kau kembali' menceritakan kisah seorang Abidakarsa Abdullah dengan semua lukanya. yang pada akhirnya disembuhkan oleh Aninda Risel Fernisa, belahan jiwanya, Ibu dari anaknya. semua tak berhenti. Ternyata...