Izinkan untuk Pulang

3.7K 311 25
                                    

Part yang agak panjang:D
Makin gemashhh.

.

.

Keadaan masih sama seperti kemarin. Dua manusia itu masih sama-sama diam. Suasana rumah masih dingin, hanya ocehan Alfath yang mengisi kesunyian.

Setelah makanan tertata di atas meja, Risel berlalu untuk menemani Alfath di depan televisi. Abid masih terdiam di sofa. Ia memerhatikan Risel dari belakang.

Risel yang merasa sedang diperhatikan, ia menoleh dan pandangan mereka bertemu. “Sarapan, nanti telat,” ucapnya tegas.

“Nggak mau.”

“Yaudah terserah.”

“Nggak mau kalau nggak kamu temenin.”

Risel menatap Abid, ada yang salah kah? Padahal belakangan ini dirinya selalu makan dengan tenang tanpa ditemani Risel. Bahkan, sepertinya lebih nyaman jika tak ditemani Risel.

Abid menggendong Alfath, menaikkannya ke Sepeda Balita. Kemudian ia menarik paksa Risel, dan mendudukkan di hadapannya. Risel pun mengerti tatapan Abid yang meminta untuk diambilkan nasi. Dengan sabar, ia mengambilkan nasi dan lauk untuk Abid. “Makasih,” ucap Abid dengan senyum.

Risel benci dengan senyum Abid. Bukan. Bukan benci. Ia hanya takut diberi kepalsuan. Ia takut Abid mematahkan hatinya lagi.

“Nanti aku mau ke toko,” kata Risel pelan. Abid mengangguk, lalu berlenggang pergi.

***

Risel menatap sendu ruko di hadapannya. Ia selalu ingat kapan toko kue ini dibuka. Ia juga ingat betapa semangatnya Abid membelikan ruko ini untuknya. Ah, itu sudah berlalu. Melihat toko ini semakin membuatnya sedih. Apalagi, toko yang kian sepi.

“Cit, Azizah mana?” tanya Risel pada Citra yang tengah menata kue di etalase.

“Oh, lagi keluat bentar, Bu. Alfath sini sama Tante!” Risel menurunkan Alfath dari gendongannya dan langsung disambut oleh Citra.

Ia duduk di meja kasir, membuka jurnal milik toko kuenya. Senyumnya perlahan timbul saat mendapati kurva penjualan tokonya. “Bu, alhamdulillah sedikit membaik.” Risel mendongak, ternyata Azizah sudah datang. Ia langsung menarik kursi di sebelahnya untuk tempat Azizah duduk.

“Makasih ya, Mbak Azizah. Aku udah pusing banget gimana naikin kurva ini,” ucap Risel. Azizah tersenyum tulus, “Bu, ini juga karena Ibu dan semua karyawan. Saya Cuma menjalankan tanggung jawab, Bu. Mungkin saya perantara dari Allah untuk menyelesaikan permasalahan ini,” jelas Azizah.

“Rencananya aku mau nutup, Mbak. Tapi Alhamdulillah, semuanya perlahan membaik.”

“Kalau toko ini tutup, aku nggak tau mau kerja di mana lagi, Bu Risel,” keluh Citra yang ikut nimbrung sambil menitah Alfath.

“Alhamdulillah, InsyaAllah aku bakal pertahanin toko ini.” Ucapan Risel terhenti ketika matanya melihat Mira sedang memilih kue di etalase.

“Hey, Sel!” Risel tersenyum lalu menghampiri Mira.

“Ini, Sel. Aku mau cari kue yang bagus buat perayaan hari jadi kami,” jelas Mira. Risel tersenyum, lalu menunjukkan kue best seller di tokonya. “Ini, Mbak. Ini yang paling laris.”

“Wah, aku suka ini, Sel. Abid suka nggak ya yang ini?” Risel langsung menghentikan aktivitasnya, ia membisu.

“Ini kue mau aku kasih ke Abid, hari jadi persahabatan kami.” Mata Risel memanas. Ia ingin enyah dari hadapan Mira detik ini juga, tapi tak bisa. Ia harus melayani pelanggan.

ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang