Jingga mulai menyapa di ufuk barat. Melukis semburat bukti aktivitas manusia seharian penuh, menjadi ujung dari lelah yang terhapus begitu saja. Tak berjuta warna seperti pelangi, hanya beberapa namun banyak hadir cinta untuknya.
Senja selalu menyapa, menjalankan fungsi latennya untuk menghibur para jiwa yang lelah. Membuncahkan warna oren untuk menyikat segala gundah. Ia sempat pergi, namun esok selalu kembali.
Ibu muda berkhimar hitam itu tampak sibuk di halaman belakang, mengangkat jemuran yang dihampar tadi siang. Dilakukan dengan cekatan, karena Sang Buah Hati ditinggalkannya di depan televisi. Dengan langkah lebar, ia masuk ke dalam menaruh segunduk pakaian kering.
Melihat anaknya masih anteng, sibuk mengemut jari jempol, ia beranjak untuk menyapu teras depan. Diabaikannya segunduk pakaian yang belum dilipat, ‘Nanti saja’ begitulah kata hatinya. Tak memakan waktu lama untuk menyapu teras depan. Pasalnya lantai itu tak lebar.
“Izin, Ibu tidak datang ke acara ya?” Suara perempuan yang sedikit lebih tua darinya menembus telinga, menghentikan langkah Risel untuk masuk ke dalam. Ia menarik ujung bibirnya, “Iya, Bu. Kasihan Alfath kalau mau dibawa, kalau ditinggal juga nggak ada yang jaga di rumah.”
“Ya sewa pembantu atau pengurus bayi gitu, Bu. Danki kan pasti banyak duitnya, masa nggak mampu?”
“Hehehe, suami saya melarang itu, Bu. Katanya anak harus diasuh orang tuanya sendiri. Kalau terbiasa dengan pembantu, bahaya nantinya.”
“Loh, buktinya anak saya nggak begitu. Masih nurut sama saya, tuh!”
“Pemikiran mungkin beda-beda, Bu. Permisi, Bu saya masuk dulu anak saya sendirian di dalam.”
“Heleh bilang aja cari kesempatan! Alasan ngurus anak, padahal emang malas kumpulan. Enak sekali istri Danki bebas nggak perlu pusing-pusing ikut acara.”
Risel masuk ke dalam mencoba untuk mengabaikan kalimat yang baru saja didengar. Tapi tegap tak bisa. Ia terlahir dengan hati yang perasa. Ia terlalu peka untuk hal-hal yang seharusnya tidak ia pikirkan. Kalimat itu terus terngiang. “Apa aku salah ya? Apa sebaiknya memang cari pengasuh? Nggak enak hati dibilang begitu, berasa manfaatin jabatan suami deh.”
“Suaminya pulang malah melamun. Ada apa?” Risel tersadar dari lamunannya. Ia langsung meraih tangan Abid untuk dikecup. “Maaf, Mas nggak denger salam tadi.”
“Kenapa? Capek?” Risel menggeleng lemas. “Mas mau langsung makan?” Abid menatap anak mmata Risel dengan tatapan sedikit tajam, “Kebiasaan ngalihin pembicaraan. Kenapa Amah ngelamun?”
“Nggak ada apa-apa. Aku siapin baju Mas ya.” Risel langsung masuk kamar untuk menyiapkan pakaian ganti untuk Abid.
Abid mengecup kening Alfath, menumpahkan kasih sayang yang tak pernah habis sampai kapanpun. Bayi kecil namun gembil itulah yang menjadi pelipur bagi Abid. Menjadi refleksi ketika Abid lelah mencari nafkah.
“Mas, ini handuknya. Buruan mandi gih! Alfath nggak suka bau Babanya.” Abid melepas kaos lorengnya di depan Risel, lalu membekap wajah Risel. “Nih harum! Itu keringatnya ada karena cinta. Cinta Baba yang buat semangat kerja, terus meninggalkan jejak keringat di kaos itu. Harum kan, Sayang?”
Risel cepat-cepat memasukkan kaos yang lembab itu ke dalam keranjang kotor. “Hoek, asem banget.” Abid tertawa senang lalu menghilang masuk ke kamar mandi.
***
Langit mulai hitam pekat. Ah tidak, langit hitam itu tampak manis dihiasi rasi bintang. Alam semesta selalu mempunyai keajaiban untuk menenangkan otak manusia. Keindahannya selalu memukau, membuat makhluk bernama manusia itu selalu bersyukur diberi kehidupan.
Setelah maghrib, Alfath sudah terlelap dan akan terbangun dini hari. Orang tua muda itu saling diam, duduk bersanding di bangku belakang. Risel selalu ingat, perlakuan Abid yang manis sekali. Menyuapinya untuk pertama kali yang disaksikan langit malam bertabur bintang.
Kebiasaan bagi mereka, duduk berdua di belakang. Katanya untuk saling mengadu lelah setelah seharian beraktivitas. Kecuali, jika Abid sedang naik piket maka Risel memilih menemani Alfath memejamkan mata.
“Apa yang istimewa dari tempat sederhana ini?” Abid menggenggam jemari Risel yang sedang menatap ke arah langit lalu menjawab, “Malam pertama ketika kita tinggal di asrama ini. Setelah pertengkaran kita, di tempat ini kamu berlaku romantis. Nggak nyangka, kamu yang selalu datar berubah pada malam itu.” Abid tersenyum mendengar ucapan istrinya.
Sesaat kemudian, kembali ke dalam keheningan. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Keduanya saling memendam sebuah masalah. Namun masih ragu untuk saling bercerita.
“Di tempat ini harusnya kita berbagi suka dan duka yang kita alami seharian tadi. Minimal, berbagi lelah.” Risel mendengar ucapan Abid, namun enggan menanggapi. Ia masih memandang rasi bintang yang tampak serasi dengan langit malam.
Kunang- kunang kian hadir di tengah keheningan mereka. Berkelana menciptakan garis hayal dari cahayanya. Semula hanya sepasang kunang yang sepertinya sedang kencan, tapi sekarang ada lima kunang-kunang. Abid memandang kunang-kunang itu, saling beterbangan dengan cahaya yang tak meredup. Kasihan sekali, diantara lima kunang-kunang itu ada satu yang tak memiliki pasangan.
Risel melepas genggamannya dari tangan Abid yang membuat Abid menatap bingung. Awalnya Abid pikir Risel akan masuk ke dalam, tapi tetap setia di samping Abid dengan kebisuan.
“Kenapa Sayang?” Abid mendekap Risel yang tampak mengelap bulir air mata di sudut matanya. Abid pikir akan mereda setelah didekap hangat, tapi malah semakin tersedu.
“Ada apa?” Risel tetap tak menjawab pertanyaan Abid. “Menangislah! Menangis bukan berarti kamu lemah. Kita memang butuh ruang untuk meluapkan sesak.” Risel semakin tergugu, membasahi pundak Abid.
“Mas apa aku boleh merasa lelah?” Abid melerai pelukannya, menyentuh kedua bahu Risel dan ditatap mata bening penuh air mata itu. “Kamu lelah?”
“Apa aku boleh berhenti sejenak?”
“Kamu kenapa Sayang?”
“Aku capek segalanya, Mas. Berat banget rasanya untuk ngelakuin semuanya.”
“Kasih tau aku, kamu capek kenapa? Capek ngurus rumah?”
“Semuanya! Aku capek ngurus rumah, capek ngurus Alfath, dan ngurus segala urusanmu. Aku tambah capek lagi, rasanya kerjaku sia-sia. Aku dibilang memanfaatkan keadaan untuk nggak ikut kegiatan persit. Padahal aku capek, tapi nggak ternilai oleh mereka.”
“Siapa yang berani bilang gitu?” Rahang Abid mengeras, marah atas ucapan istrinya. “Nggak perlu tau. Rasanya aku capek, dari bangun tidur sampai mau tidur, aku ngelakuin itu semua. Mas, aku izin buat dua hari aja untuk istirahat dari tugas seorang istri dan Ibu.” Abid melotot mendengar permintaan Risel. “Kita sewa pengasuh ya, Mas? Biar aku bisa istirahat dan bisa ikut kegiatan persit.”
“Nggak! Aku nggak mau anakku diurus sama pembantu. Kalau kamu mau istirahat, Mas bisa kok jaga Alfath, ngurus Alfath. Dua hari ke depan Mas mau izin, bilang aja jaga Alfath yang sedang tak enak badan.”
“Mas, aku nggak setuju! Bukankah prajurit harus jujur? Aku nggak suka suamiku jadi prajurit picik.”
“Maaf, aku Cuma lagi capek aja. Bangun tidur juga udah semangat lagi. Biar aku tetap urus semuanya. Maaf ya, Mas aku belum bisa jadi Istri dan Ibu yang baik.” Risel mengelap air mata di pipi dengan punggung tangannya. Ia memeluk Abid, meminta maaf pada suaminya.
“Maaf ya, sayang udah bawa kamu ke sini. Udah buat kamu capek, nggak bisa bahagia.”
“Mas, aku bahagia selalu di sisimu. Aku bahagia mampu membersamaimu.”
“Sayang, kamu wanita hebat. Mas minta tolong, jangan dengar apa kata orang. Orang hanya mampu mengkritik tanpa memberi saran. Kamu ini sedang beradu kekuatan dengan orang-orang itu. Kamu harus buktikan kalau kamu kuat dan hebat. Maaf, Mas janji akan selalu melindungimu.”
“Mas doakan Risel ya agar kuat. Risel selalu dibilang memanfaatkan jabatan Mas.”
“Hussttt, jangan didengarkan. Ayo tidur, Alfath udah sampe mimpi itu.”
Keduanya beriringan masuk ke dalam kamar. Sebelumnya, Risel membasuh wajah bekas tangis. Ia sekalian berwudhu untuk mengantarkan tidurnya malam itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)
Fiksi UmumIni squel dari cerita yang berjudul 'Sersan, Kau kembali' menceritakan kisah seorang Abidakarsa Abdullah dengan semua lukanya. yang pada akhirnya disembuhkan oleh Aninda Risel Fernisa, belahan jiwanya, Ibu dari anaknya. semua tak berhenti. Ternyata...