Sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan. Benar adanya. Semua sesak dan perih yang dirasa Risel meluap enyah berganti dengan tentram. Semua kalimat manis yang ia gemakan setiap sepertiga malam Allah kabulkan. Benar-benar Maha Agung, bukan?
Abidakarsa, lelaki yang penuh luka. Ditakdirkan oleh Sang Khaliq untuk bersatu dengan Aninda Risel dalam ikatan suci. Sebuah pernikahan dengan harapan akan sampai syurga, setiap detiknya diganjar pahala, selalu diridhoi Sang Kuasa. Ternyata tidak mudah. Penyatuan dua kepala dengan isi yang berbeda, tak sekadar mengucap 'Aku mencintaimu. Aku menyayangimu.' Tapi lebih dari itu, tentang kesalah pahaman, pendapat yang berbeda, perdebatan kecil sampai besar. Yang tetap diingat, Abid yang menjadi nahkoda dalam bahtera rumah tangganya.
Terhitung sejak Abid mengucap Qabul, pundaknya memikul tanggung jawab sebagai suami. Setelah Alfath lahir melihat dunia, bertambah tanggung jawabnya sebagai seorang Bapak. Senantiasa menjamin tak ada sebutir nasi pun yang didapat dengan cara tak halal, menjamin kebahagiaan istri dan anaknya. Tentunya, menjamin untuk melangkah menuju surgaNya.
Belajar dari Desi yang tiba-tiba muncul, masuk dalam kehidupan Abid sebagai adik. Tak banyak menuntut pada Sang Pencipta, menyadari betul bahwa semua yang dialami adalah takdir dari Sang Kuasa. Juga tentang Abah Saga yang mendua, membuatnya berprinsip untuk menjadi lelaki yang setia. Meski mendua dengan cara pernikahan, tetap saja menyakitkan jika tanpa persetujuan Umi Yanti.
Tiga bulan berlalu, semua menjadi manis. Sepasang suami istri itu paham bagaimana menjadikan cerita lama sebagai pelajaran. Menjadi saling terbuka, karena memang sudah seharusnya begitu.
"Kakak Alfath hari ini usianya dua tahun. Semoga Kakak tumbuh menjadi anak yang sholeh dan pintar ya, Nak." Dikecup kening Alfath dengan penuh cinta. Hari ini, bocah yang tak lagi gembil itu bertambah usia.
Abid memotong kue, disuapkan pada Alfath. "Enak? Abdullah's Cake, buatan Ammah enak, kan?"
"Enak, Baba!"
"Kakak, mau hadiah apa?" tanya Risel setelah mengecup pipi Alfath. Yang ditanya sibuk memakan kue cokelat, bertabur lelehan cokelat. Anak itu memang suka cokelat dalam bentuk apapun. "Ditanya Ammah, dijawab dong, Sayang," kata Abid mengusap kepala anaknya.
Alfath melongo, bibirnya belepotan cokelat, matanya melirik ke samping sambil tangannya menyentuh dagu menandakan sedang berpikir keras. "Ndak tau. Akak moh apa-apa," putus Alfath setelah beberapa detik memikirkannya. Abid dan Risel tertawa melihat tingkah anaknya itu. "Masa, sih? Mainan?" pancing Abid.
Alfath menggeleng, "Moh! Ammah bilang Akak banyak minan. Ndak bulih Baba!" Abid melirik Risel, mengedipkan mata menggoda istrinya itu.
"Emangnya Ammah bilangin Alfath apa aja?"
"Ndak bulih nakal, mamam sayul, minum susu, ndak bulih tepon Baba." Abid mengernyit, "Nggak boleh telepon Baba? Kenapa?"
"Baba keja. Nunggu ditepon kata Ammah." Abid melirik Risel, "Iya?"
"Bulan kemarin waktu Mas ke Batujajar, Kakak pengin nelepon terus. Masnya kan lagi sibuk, jadi aku bilang nunggu Baba nelepon." Abid langsung mengusap ubun-ubun Risel sambil tersenyum.
"Kakak benaran nggak mau minta sesuatu?" Risel menanyakan satu kali lagi. Biasanya Alfath sering berubah pikiran tiba-tiba.
"Eh, Ammah. Akak inget!" Abid dan Risel sama-sama memandang Alfath, menunggu lanjutan kalimatnya.
"Akabal punya dedek!" Alfath mengatakannya dengan riang.
"Lucu, kan?" tanya Risel yang diangguki oleh Alfath, "Lucu banet!"

KAMU SEDANG MEMBACA
ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)
Художественная прозаIni squel dari cerita yang berjudul 'Sersan, Kau kembali' menceritakan kisah seorang Abidakarsa Abdullah dengan semua lukanya. yang pada akhirnya disembuhkan oleh Aninda Risel Fernisa, belahan jiwanya, Ibu dari anaknya. semua tak berhenti. Ternyata...