Diam yang Bermakna

3.2K 376 76
                                    

Ada baiknya follow akun author sebelum baca;)
Makasih yang udah baca sampe bagian ini yah:)))

.

Semur ayam telah tersaji di balik tudung. Beberapa potong ayam dibeli di tukang sayur yang biasa lewat di asrama. Mang Yoyon namanya, rantau dari Tasik. Kalau kehabisan stok dan belum sempat belanja, Risel membeli sayur di Mang Yoyon. Ramah, dan baik sekali.

Abid belum kembali lagi. Dzuhur tadi ia pulang, teringat ponselnya yang tertinggal. Risel pura-pura tertidur siang tadi, malas mau menyapa Abid. Setelah memasukkan ponsel di sakunya, Abid pergi lagi dan belum kembali sampai maghrib.

Risel mengipas luka Alfath agar anaknya bisa tidur tenang malam ini. Lukanya tak terlalu parah, tapi tetap saja menyedihkan bagi Risel. Kalaupun bisa, maunya luka itu dipindah saja di lutut Risel agar anaknya itu bisa tidur lelap.

Baru saja ia terlelap, perutnya seperti dipeluk dari belakang. Ia membuka mata, terlihat sebuah tangan kekar yang melingkar di perutnya. Risel mencoba memindahkan tangan Abid, namun kembali lagi memeluknya. Malah tambah erat!

“Ih, apa sih? Sempit,” keluh Risel. Abid melonggarkan pelukannya, lalu membalik tubuh Risel agar menghadap ke arahnya. “Kenapa? Tumben,” katanya.

Risel membalikkan tubuhnya lagi, membelakangi Abid. Abid yang merasa dihindari oleh Risel, ia merengut. “Dosa membelakangi suami,” celetuknya. Tetap saja. Risel tak menggubris ucapan Abid.

“Efek datang bulannya ngeri banget, ya!”

“Heh, Sayang. Kenapa diam aja?”

“.....”

“Jangan salahin aku kalau ciumanku mendarat sesegera mungkin.”

“.....”

“Astagfirullah, ngapa sih diam aja?” tangan Abid sibuk membalikkan badan Risel agar menghadapnya, tapi ditahan oleh Risel.

“Jadi gemas kalau kamu begitu.”

Risel bangkit, dia melewati Abid untuk turun dari ranjang. Ia mencepol rambutnya asal, lalu keluar dari kamar. Abid mengernyit bingung, langsung ia buntuti istrinya itu.

“Mau main kejar-kejaran ya, Sayang?” Abid menyeringai jahil. Sementara Risel tak menunjukkan ekspresi apapun. Ia langsung duduk di sofa ruang tamu dengan menggenggam segelas air dingin yang baru saja ia ambil.

“Udah lama ya nggak main kejar-kejaran? Jadi, kamu kangen ya?”

Risel mendelik. Ia meletakkan gelas di meja, lalu melipat kakinya. “Aku kasih kesempatan untuk jelasin semuanya,” katanya. Abid yang awalnya menyeringai jahil, langsung diam seperti disumpal. “Jelasin apa?”

“Semua urusan Mas di Magelang.”

Abid menggaruk tengkuknya. Tenggorokannya kering sekali saat ini. Ia memilih duduk di sebelah Risel, tangannya mencoba memeluk Risel dari samping tapi ditepis oleh empunya. “Jelasin!”

“I i iya aku ke Magelang ada urusan.”

“Urusan apa?”

“....”

“Aku kasih Mas waktu buat jelasin supaya aku nggak mikir yang aneh-aneh. Tapi Mas malah diam aja? Jadi benar apa yang aku pikirkan?”

“Kamu mikir apa?”

“Semua ini tentang Mira, kan? Ada urusan apa kamu di Magelang? Jawab, Mas!” Kali ini Risel berkata sedikit keras di hadapan Abid. Kesabarannya benar-benar sedang diuji.

“Sayang, dengar. Kamu harus percaya Mas. Mira sakit, dan dia butuh Mas!”

“Hahaha, dia siapa? Dia siapa, Mas? Istri kamu? Pacar kamu? Selingkuhan kamu?” Risel mengatakannya dengan air mata yang berderai.

ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang