Baiklah ...

3.3K 374 122
                                    

Ada baiknya follow akun Author yaa sebelum baca:))

.


Abid sudah buru-buru pulang ke Semarang. Pasalnya dia nyolong jam kerja agar bisa ke Magelang. Sementara Risel memilih tetap di  Rumah Ani. Ini semua permintaan Ani. Katanya masih ingin berlama-lama dengan Alfath.

“Risel dan Alfath pulang nanti saja, Bid,” kata Ani ketika Abid pamit. Risel melirik Abid meminta persetujuan. “Pulangnya Mas jemput?” Abid membalas lirikan Risel.

Rudi yang baru saja datang langsung memberi keputusan, “Risel nanti malam Om antar ke Semarang. Atau besok pagi sekalian, biar Mama bisa ikut berkunjung juga.” Abid mengangguk setuju. Ia mengecup kening Risel di depan Ani  dan Rudi membuat Risel malu lalu mencubit lengan Abid. “Nggak tahu malu,” bisik Risel.

Rudi dan Ani senyum-senyum melihat Risel yang menahan malu. Setelahnya, Abid mengecup setiap inci wajah Alfath lalu pamit untuk pulang.

“Hukuman karena Abid udah lama nggak bawa kamu ke sini. Kamu harus nginep, Nduk!” Risel membalas dengan senyum, “Mas Abid sibuk terus, Ma.”

“Kemarin itu sebenarnya Mama ketemu Abid sekilas di RSUD. Tapi kelihatannya dia buru-buru, jadi nggak sempat Mama panggil. Emang ngapain dia?”

Risel sudah tahu pasti. Ketika itu pasti Abid sedang berurusan dengan Mira. “Itu, temannya kecelakaan.”

“Ya Allah, siapa? Apa tadi kamu ke rumah sakit juga jengukin temannya Abid?” Risel mengangguk, “Mbak Mira, Ma.”

Ani terbelalak, “Mira Khairunissa? Calonnya Rayyan dulu?” Risel mengangguk.

“Papa!” teriak Ani memanggil Rudi yang sudah pindah tempat ke dapur. Dengan langkah santai Rudi mendekat, “Ngapa sih, Ma? Jerit-jerit.”

“Mira kecelakaan, Pa.”

“Hah? Mira itu? Kapan?”

“Hari senin, Om.” Risel yang menjawab. “Kok kita nggak dikabari sama Ridwan dan Hana?” tanya Rudi yang dibalas gelengan oleh Ani.

“Yaudah, sekarang kita ke RSUD. Antar ya, Ris!”

Di sinilah mereka. Di ruangan tempat Mira dirawat. Hana masih sendiri, tanpa Ridwan. Katanya suaminya itu masih sibuk kerja. Alhasil Hana seorang diri yang menjaga anaknya. Dari awal datang, Hana sama sekali tak menyinggung keberadaan Risel. Ia asyik mengobrol dengan Ani dan Rudi. Begitu juga Mira, hanya menyapa Ani dan Rudi.

“Terus calon suami Mira bagaimana keadaannya?” celetuk Rudi memecah keheningan. “Masih koma, dia lukanya parah. Pembuluh darahnya pecah gitu katanya,” jawab Hana santai.

“Ehm, Mama, Ibu, sama Om Rudi pasti belum makan, kan? Kalian bisa ke kantin ngobrolnya lebih tenang sambil makan hehehe,” kata Mira yang membuat semua mata fokus ke arahnya.

“Kan kita mau jenguk kamu, Mir,” balas Ani.

“Maksudnya, Mira boleh nggak ngobrol berdua dengan Risel? Nggak mungkin Risel ngobrolnya di luar, masih lemas,” pinta Mira. Risel terkejut dan bertanya-tanya apa yang akan diobrolkan dengannya.

“Oalah, ngomong dari tadi. Yaudah kami tinggal ya,” para orang tua itu akhirnya meninggalkan Mira dan Risel. Memberi ruang untuk mereka mengobrol.

Ruangan menjadi hening. Risel berdehem, mengingatkan Mira bahwa ia sudah menunggu Mira membuka obrolan.

“Aku mau ngomong terang-terangan sama kamu!”

Risel menarik bangku, duduk sejajar dengan Mira yang sedang terbaring. “Abid janji mau nikahin aku,”

Jleb

Ada belati tak kasat mata yang menujah relung hati Risel. Jam yang berdenting itu seperti berhenti tiba-tiba. Saluran napasnya sedikit tersumbat hingga membuat sesak. Matanya masih menatap Mira, kosong. Rasanya nadinya seperti akan putus. Perlahan air matanya lolos. Sial, kenapa harus lolos di depan Mira? Buru-buru ia mengusap pipinya, lalu menahan agar tak jatuh lagi.

“Demi apa kamu bilang begitu?” Risel menegarkan suaranya. Ia tak mau menjadi lemah di hadapan Mira. Meskipun tadi air matanya sempat lolos.

“Iya. Kamu lupa ya kalau aku ini cinta pertamanya?” Mira menampakkan senyum sinisnya, “Dan masih mencintaiku tentunya.”

“Oh ya? Apa buktinya?” tantang Risel.

“Jelas-jelas dia mau menikahiku! Kurang apa lagi?”

“Aku nggak percaya kalau itu keluar dari mulutmu!”

“Haha, tanya suamimu saja! Abid juga udah tau kok kalau kamu sama Bian pernah saling dekat, atau mungkin sampai sekarang.”

Wow hebat ya kamu sok tau tentangku. Tau apa kamu tentang aku dan Bian? Bahkan kamu aja nggak kenal banyak tentangku, Mbak! Dan satu lagi, Mbak. Perempuan macam apa Mbak ini? Sudah mau menikah tapi malah mengganggu suami orang! Buka mata, Mbak. Bian tulus mencintai Mbak!”

“Kita lihat saja siapa yang menang!”

“Ular sepertimu tak akan pernah menang! Istigfar, Mbak. Sudah terkapar di brankar saja masih punya niat jahat!”

Mira langsung mengangkat tangannya, lalu ingin menampar Risel. Tapi itu tak berhasil. Tangan Risel lebih cepat menangkisnya. Karena cekalan Risel, impus di tangan Mira lepas. Mira langsung kehilangan daya tubuhnya. Ia melemah, lalu berteriak memanggil Hana.

Hana, Ani, dan Rudi datang tergopoh-gopoh. Mereka yang duduk di dekat pintu ruang Mira langsung masuk begitu mendengar teriakan Mira.

“Heh kamu apain anak saya?!” Risel langsung berdiri. Ia diintimidasi oleh tatapan Hana. Rudi dan Ani juga menatap Risel dengan tatapan aneh, membuat Risel merasa tersudut di sini.

Dokter langsung datang begitu ditekan tombol darurat. Risel didorong keluar secara paksa oleh Hana. Sementara Rudi dan Ani juga ikut keluar berjalan ke arah parkiran.

“Kalian kenapa?” Ani bertanya dengan nada selembut mungkin. Ia takut membuat Risel salah paham. Ia yakin betul bahwa Risel tak mungkin mencelakai orang lain.

Risel menangis tersedu, “Demi Allah, aku nggak ngapa-ngapain dia.”

Rudi melirik di spion, terlihat wajah Risel sangat sendu sekali. “Kami percaya kamu, Risel. Tenangin diri kamu dulu.”

Risel masih menangis sampai mobil yang ditumpangi masuk ke pekarangan rumah Rudi. “Kamu istirahat di kamar, Ris!” titah Rudi.

Ani menggendong Alfath, mengajak Alfath main. Ia membiarkan Risel sendiri di kamar. Ia tau Risel butuh ruang untuk menangis, sekadar melepas sedihnya. Bukan ia tak mau menghubungi Abid, namun Risel sendiri yang meminta agar tak memberi tahu Abid.

“Ya Allah, sakit. Kenapa sesakit ini Ya Allah? Ampunkan semua dosaku, Ya Allah.”

Risel benar-benar hancur saat ini. Ia benar-benar terluka, sudah melebar sampai tak bisa dijahit lagi. Ia menangis, meremas ujung gamisnya, luruh di lantai samping ranjang tamu di rumah Ani.

“Maafkan hamba Ya Allah belum bisa menjadi istri yang baik. Aku gagal. Suamiku mengkhianati pernikahan kami. Ya Allah, berilah hamba petunjuk. “

Ia melepas remasan pada ujung gamisnya. Tangannya berpindah, mengusap kasar air matanya. Ia menyipitkan matanya, menyatukan gigi atas dan bawahnya, “Kalau aku gagal menjadi istri yang baik, setidaknya aku masih bisa menjadi Ibu yang baik untuk anakku.

“Terima kasih, Mas Abid atas semua luka yang kamu beri. Jangan salahkan aku atau siapapun. Mungkin ini akhir cerita kita."


Kalau suka, dianjurkan untuk vote😊
Kalian pilih bertahan atau pergi kalau ada di posisi Risel?

ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang