11 • Twenty-one | Love Isn't Revealed

208 17 0
                                    

"Kei," panggil lelaki itu.

Aku menoleh padanya. Menatap sebuah foto yang dia tunjukkan padaku di tangannya.

"Boleh kita bahas tentang hal ini?" tanyanya.

Aku terdiam. Menggigit ujung bibirku.

"Tidak apa-apa jika belum siap," katanya. Dia menaruh kembali foto itu pada tempat sebelumnya.

Aku melangkah menghampirinya. Meraih foto itu lalu menatap dengan sendu foto itu.

"Aku rasa, memang seharusnya kita membahas ini sekarang."

Mendengar ucapan ku, lelaki di sebelahku tersenyum.

Aku melangkahkan kakiku keluar dari rumah. Duduk di sebuah kursi depan rumahku, menggenggam erat foto itu.

Lelaki itu berjalan mengikuti aku lalu duduk di kursi sebelahku.

Aku menyandarkan punggungku, menatap langit yang sudah dipenuhi bintang. Indah sekali.

"Jangan sedih. Tidak ada yang bersalah di sini. Sudah aku bilang berkali-kali. Kematian itu telah ditentukan bagaimanapun akhirnya. Tidak bisa dipercepat maupun diperlambat," tuturnya mencoba menenangkan aku.

Kesedihan itu pasti ada.

Terlebih saat aku harus kehilangan kedua orang yang sangat aku butuhkan.

Berkali-kali pula aku menyalahkan diriku.

Menghukum diriku.

Berkali-kali juga dia meyakinkan aku.

Aku tau kematian itu sudah ditentukan.

Namun tetap saja rasa terkejut akan kehilangan seseorang pasti tetap ada. Bahkan jika aku tau kapan kematian itu tiba.

Aku memejamkan mata.

Mempersiapkan diriku untuk memulai menceritakan ini semua padanya.

Dia pasti sangat khawatir padaku. Aku sudah cukup merepotkan dia. Tidak ingin lebih membuatnya sulit dengan kehidupanku.

"Apa aku akan menjadi beban untuk kamu?" tanyaku.

Dia tersenyum lalu mengelus kepalaku pelan. "Haruskah kamu mempertanyakan itu? Aku rasa tidak perlu. Bagaimanapun, kamu dan keluargamu tidak pernah menjadi beban untukku," katanya.

Aku masih ragu. Mungkin hal ini terlihat olehnya.

"Sebenarnya apa arti aku di hidupmu? Aku di sini untuk meringankan perasaanmu," ujarnya lagi.

"Apa yang kamu ingin tau? Bukankah kamu sudah tau semuanya?" tanyaku padanya.

"Banyak sekali pertanyaan di kepalaku. Aku harap kamu tidak tersinggung dengan pertanyaan yang aku lontarkan." Lelaki itu berkata.

Aku menghembuskan nafas, berusaha mengontrol diri dan emosi.

"Aku siap menjawabnya," kataku.

"Kenapa kamu selalu bertengkar dengan keluargamu?" tanyanya.

Tenggorokanku tercekat.

Aku tidak mengira pertanyaannya akan menjadi sesulit ini.

Aku rasa lelaki itu tau semuanya. Hanya saja ia ingin mendengar secara langsung jawaban dari diriku sendiri.

"Aku ... aku bahkan tidak tau," ucapku dengan ragu.

Dia meraih kedua tanganku. Meremasnya, seakan mencoba meyakinkan aku.

"Aku tidak tau kenapa aku selalu bertengkar dengan mereka. Kenapa aku selalu menganggap mereka jahat. Juga kenapa aku tidak mengerti posisi kedua orang tuaku."

LONELYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang