34 | The Reason

168 12 0
                                    

Angin berhembus pelan memasuki jendela rumahku yang aku biarkan terbuka. Aku membiarkan angin membuat rambutku bergoyang-goyang tanpa merasa terusik.

Aku memulai hari dengan hal yang sama. Semua hari-hari yang aku lewati di rumah ini memang selalu terasa sama. Sedikit membosankan namun tanpa disadari memiliki banyak kenangan.

Aku pelan-pelan menghirup udara pagi yang terasa menyegarkan. Aku merasa kondisiku lebih baik pagi ini. Kedua sudut bibirku tertarik.

Kedua mataku kembali terpaku pada pohon besar di rumahku. Pohon itu menjadi saksi pertumbuhan aku dengan Alice. Aku banyak menghabiskan waktuku dengan Alice di bawah pohon itu.

Aku menghela nafas berat. Ketika aku mengingat masa lalu, itu artinya bukan hanya kenangan baik yang kembali terpikirkan. Tetapi juga setiap kenangan buruk yang terjadi.

Sebenarnya ... keluargaku tidak pernah pulih setelah kematian Alice. Alice itu sudah seperti kebahagiaan untuk kami. Cahaya yang mampu membuat hangat keluarga kami.

Tetapi semenjak kepergiannya, keluarga kami seperti kehilangan kebahagiaan. Kehilangan kehangatan yang sebenarnya harus ada dalam ikatan kekeluargaan.

Saat itu, hanya satu arti dari sikap mereka yang aku tangkap di pikiranku. Mungkin mereka bersikap sedingin itu padaku karena mereka tidak ingin kembali sedih ketika melihat wajahku yang mirip Alice. Mereka tidak ingin juga menyalahkan aku. Hingga mereka lebih memilih memendamnya.

Hanya itu pemikiran ku terhadap sikap mereka setelah Alice meninggal.

Begitupun diriku. Aku pun merasakan kehilangan. Aku seperti kehilangan separuh diriku. Aku mengalami depresi berat setelah kehilangan saudara kembarku. Berhari-hari aku hanya mengurung diri di kamar. Tanpa berbicara pada siapapun.

Aku terlahir tidak sendirian. Mungkin Tuhan tau, aku akan sangat sulit memiliki teman. Aku terlahir dalam kondisi sudah memiliki teman. Teman yang mampu mengerti diriku bahkan sebelum aku mampu bicara. Teman yang akan tertawa ketika aku bahagia. Teman yang akan ikut menangis ketika aku menangis.

Lalu tanpa sadar, semakin dewasa, keberadaan Alice justru membuatku bergantung padanya. Aku merasa ... tidak membutuhkan teman. Aku merasa cukup dengan keberadaannya.

Sekalipun aku sempat berbeda sekolah dengannya, tetapi sebenarnya itu tidak melemahkan ikatan yang sudah tercipta pada kami sejak lahir.

Sayangnya, aku baru menyadari hal ini semenjak kepergiannya.

Setelah kematiannya, aku merasa sendirian. Kesepian. Tidak memiliki semangat hidup. Begitupun pandanganku pada dunia. Aku menganggap, dunia ini begitu jahat kepadaku.

Aku menyelipkan beberapa helai rambutku ke belakang telinga. Kedua mataku mulai berkaca-kaca.

Terlebih ketika aku harus mengalami hal berat selanjutnya. Bahkan sebelum aku bisa menerima kepergian Alice, aku harus kembali kehilangan untuk kedua kalinya.

Kehilangan seseorang yang menjadi tulang punggung keluarga kami. Kehilangan sosok yang diam-diam berjuang keras untuk kami.

Ayah menyayangi keluarga kecil kami dengan cara berbeda. Dibandingkan mengajarkan dengan ucapan, beliau justru mempraktekkan secara langsung bagaimana cara bertahan hidup. Agar kami mampu menghadapi kehidupan yang sulit.

Kematian Ayah sangat mengejutkan aku, Mama dan Cia. Beliau sakit parah. Beliau tidak pernah memberi tahu kepada kami soal penyakitnya. Beliau mengidap kanker darah.

Aku tidak pernah bertanya lebih dalam tentang kematian Ayah. Mama juga tidak pernah ingin membahasnya. Sekalipun kedua matanya selalu terlihat sembab.

Aku harus membantu Mama untuk membiayai kehidupan kami. Mama tidak pernah memintanya. Tetapi aku selalu ingin melakukannya. Terlebih diriku yang harus tetap kuliah.

Mengingat kembali hal itu membuat aku kembali teringat betapa sulitnya kondisi keuangan kami saat itu. Aku dan Mama harus bekerja dengan sangat keras. Rasanya hatiku masih sakit sampai sekarang ketika mengingatnya.

Aku kembali menghela nafas panjang.

Setahun kematian Ayah, Mama juga meninggal. Aku dan Cia sangat terpuruk. Benar-benar terpuruk.

Aku merasa berada di titik terendah kemampuanku. Aku merasa seperti kehilangan semua yang berharga bagiku yang tidak sempat aku sadari.

Aku juga merasa kehilangan Cia. Aku baru menyadari kebencian Cia yang teramat dalam kepadaku setelah kematian Mama.

Aku tidak pernah meninggalkannya. Dia yang tidak ingin bersamaku.

Ingatanku berputar ketika hari di mana Mama meninggal. Cia menangis histeris di makam Mama.

"Bagaimana bisa Mama meninggalkan aku bersama gadis aneh ini?!  Dia jahat! Kak Keisya pembawa sial di keluarga kita!"

Mendengar ucapan Cia saat itu sungguh membuat batinku tersiksa. Aku pikir, hanya kami yang tersisa di keluarga ini. Kami seharusnya saling menguatkan.

Tetapi justru hubungan aku dengan Cia tidak terjalin dengan baik. Rasa amarah yang tercipta di dalam hatinya semakin besar dan terus membesar.

"Aku tidak ingin tinggal bersama Kak Keisya! Kak Keisya pembawa sial!"

Telingaku berdengung. Lagi-lagi aku teringat ucapan Cia saat itu. Aku seperti kembali mendengar suaranya ketika mengucapkan itu.

Aku bukanlah seorang Kakak yang baik untuk Cia. Mungkin gadis itu kecewa karena memiliki diriku. Aku pikir begitu.

Aku pikir, gadis itu tidak ingin bersama Kakak yang dibencinya. Aku kira, Cia tidak ingin aku berada di sisinya.

Oleh sebab itu, aku memilih pergi meninggalkan Cia. Setelah menitipkan Cia pada Tante Sarah, aku menjalani kehidupanku sendirian.

Setiap hari, aku berjuang untuk membiayai kuliahku, kehidupanku, juga kehidupan Cia.

Aku pikir, hal ini cukup untuk membuat Cia mengerti bahwa aku masih memperdulikan dirinya. Aku bekerja dengan keras agar dia hidup tanpa merasa kekurangan.

Tetapi ternyata, hal itu tidak cukup. Bukan itu yang Cia butuhkan. Bukan kumpulan kertas yang menurut orang-orang sangat berarti. Bukan itu.

Aku baru menyadari bahwa adikku hanya butuh kasih sayang dan pengertian. Hanya butuh didengarkan.

Aku sudah bilang. Ini semua salahku. Aku mengakuinya.

Aku memijat-mijat pelipisku. Kembali memikirkan hal ini membuat kepalaku berdenyut.

Aku pikir, tidak perlu menjelaskan semua ini pada Ally. Lelaki itu tidak perlu tau. Tidak apa-apa jika dia menganggap ku jahat. Toh, aku juga tidak merasa bahwa diriku orang baik. Jadi bagiku, itu tidak masalah.

Aku lagi-lagi menghembuskan nafas kuat-kuat. Aku pikir tadi kondisiku sudah pulih. Tapi ternyata emosiku mempengaruhi kondisi tubuhku.

Kenapa aku serapuh ini?

Aku melirik jam dinding. Sebentar lagi aku harus berangkat ke kantor. Mungkin seharusnya aku segera bersiap-siap.

Aku bangkit dari duduk. Menutup jendelaku, lalu melangkah menuju kamar.

Seharusnya aku memang tidak perlu terlalu banyak berpikir soal ini. Sekarang kepalaku berdenyut kembali. Aku merasa mual. Seakan-akan semua isi perutku terdorong, hendak keluar.

***

LONELYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang