Saka menatap gundukan tanah di hadapannya dengan nanar. Wajahnya terlihat sedih sekali. Setibanya di makan Alice, lelaki itu belum berbicara satu kata pun.
"Aku sebenarnya sudah menjelaskannya pada Kak Saka waktu itu. Dia waktu itu percaya. Tetapi mungkin ketika dia kembali melihat wajahmu, dia ragu lagi."
Aku menoleh pada Saki. Mendengarkan ucapannya yang setengah berbisik.
"Aku khawatir Kak Saka akan bertambah sedih karena melihat makam Alice," tutur Saki menjelaskan kekhawatirannya.
Aku kembali menatap Saka yang masih belum mengeluarkan suara. Aku lalu memilih berjongkok di sebelahnya.
"Maafkan aku. Aku sudah tidak tau bagaimana cara menjelaskannya padamu. Hanya ini satu-satunya cara agar Kak Saka percaya bahwa saudara kembarku, kekasih Kak Saka yaitu Alice, sudah meninggal."
Aku menepuk-nepuk pelan punggung Kak Saka. Mencoba menenangkannya.
Kak Saka menoleh padaku. Aku baru menyadari bahwa kedua mata lelaki itu berkaca-kaca.
"Maaf, Kei. Aku masih sangat sulit menerima kenyataan ini. Maaf karena membuat kamu kesulitan," bisik Saka.
Aku tersenyum tipis. "Aku mengerti."
Saka kembali menatap sendu makam Alice. "Terakhir kali kami bertemu, aku dan Alice bertengkar hebat. Karena itu aku sangat merasa bersalah sekarang."
Tiba-tiba saja kedua mataku ikut berkaca-kaca. Kedua tanganku berhenti menepuk punggungnya. Terjatuh begitu saja dengan lemas. Seandainya saja Saka tau, bahwa penyebab kekasihnya meninggal adalah saudara kembarnya sendiri.
Aku tidak pernah bisa berhenti menyalahkan diriku sendiri. Entah sampai kapan aku harus begini. Tetapi kenyataan ini sangat menyakiti hatiku.
Aku tidak bisa berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Karena pada kenyataannya, semenjak kepergian gadis ceria itu, semuanya tidak baik-baik saja.
Saka meraba gundukan tanah di hadapannya. Air matanya jatuh. Baru sekali ini aku melihat titik rapuhnya seorang lelaki karena ditinggal kekasihnya.
Tiba-tiba saja bayangan Ally muncul. Bayangan itu terlihat di samping makan Alice yang sekarang berganti nama menjadi ... namaku. Lelaki itu terlihat menangis tersedu-sedu.
"Kei." Panggilan Saki diikuti tepukan di bahuku membuat aku kembali tersadar. Bayang-bayang Ally menghilang begitu saja. Begitupula dengan makam Alice yang kembali seperti semula.
"Kamu enggak papah? Kamu keliatan pucat," ucap Saki.
Aku menggeleng. "Aku baik-baik aja."
Saki beralih menghampiri Saka. Ia menepuk pundak lelaki itu.
"Kak Saka, pulang yuk. Sudah cukup hari ini. Kita bisa datang lain kali," bujuk Saki kepada kakaknya dengan hati-hati.
Saka terlihat menggelengkan kepalanya. Lelaki itu masih terus menatap makam Alice. Melihatnya, Saki menghela nafasnya.
"Kak, yuk pulang." Saki kembali membujuk.
Aku mengerti kekhawatiran yang melanda Saki. Kakaknya terlihat sangat sedih dan putus asa. Melihat Saka yang seperti itu pasti juga menyakiti hatinya.
"Kak Saka, Alice pasti senang karena Kakak sempat menemuinya. Kakak bisa pulang dulu dan kembali datang lain kali." Aku ikut membujuk.
Entah kata-kataku benar atau tidak, aku hanya berusaha membantu Saki yang terlihat tidak mampu membujuk kakaknya lagi.
Saka menoleh padaku. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya dia mengangguk. Lelaki itu bangkit dari duduknya dibantu oleh Saki.
"Terima kasih, Kei. Kamu mau pulang bersama?"

KAMU SEDANG MEMBACA
LONELY
Teen FictionKetika seluruh dunia tidak peduli pada lukaku dan ketika dunia berpihak pada sang durjana, aku terdiam. "Kenapa?" tanyanya. Karena itu hanya khayalanku. Aku yang merasa terlalu baik. Saat semua hal adalah kejahatan dimataku. Saat aku menjadi memb...