23 • Twenty-one | Can't Lie

133 10 0
                                    

Aku menatap wajah Ally. Menunggu respon lelaki itu.

"Kenapa kamu bilang padanya kalau kamu membencinya?" tanya lelaki itu.

Aku terdiam. Hatiku terasa tertohok mendengar pertanyaannya.

Ally terlihat masih menunggu jawabanku.

Aku menggigit bibirku. Suasana hening sebentar. Sebelum akhirnya aku bersuara.

"Dulu aku membencinya karena dia selalu membuatku merasa seperti begitu menyedihkan. Dia selalu bertingkah seolah-olah kasihan padaku. Seolah-olah ia tidak ingin aku menyadari bahwa Mama lebih menyayanginya."

Ally mengerutkan keningnya. "Kenapa kamu membencinya? Bukannya itu artinya dia bersikap baik? Bisa jadi dia benar-benar tulus menyayangimu."

"Aku tau dia tulus. Tetapi saat seperti itu aku tidak suka. Aku terlihat sangat menyedihkan sekali," kataku padanya.

Ally menghela nafasnya. "Aku tidak berniat membela siapapun diantara kalian. Tetapi aku hanya ingin kalian tidak saling membenci. Karena aku bisa melihat kalian sebenarnya saling menyayangi."

Aku menahan nyeri di hatiku. Rasanya sakit sekali. Aku sangat merasa bersalah.

"Aku tau tindakanku itu salah, Ly."

Ally kembali mengelus punggung tanganku. "Aku rasa, seandainya dia masih hidup, dia akan memaafkan mu, Kei. Karena dia tidak pernah bisa membencimu. Seperti dirimu yang sebenarnya tidak bisa membenci dirinya. Membenci saudara kembar itu seperti membenci diri sendiri."

Entahlah. Setengah hatiku merasa ragu dengan ucapannya, setengah hatiku yang lain membenarkan ucapannya.

"Aku mengerti kesedihan yang kamu jalani. Aku juga mengerti kenapa kamu tidak bisa melupakannya," ujar Ally.

"Kamu tidak perlu melupakannya, Kei. Kamu hanya perlu menerimanya. Menerima kenyataan bahwa Alice sudah pergi lebih dulu." Dia melanjutkan ucapannya.

"Berhenti menyalahkan dirimu. Karena pada akhirnya kematian itu pasti akan terjadi. Bahkan jika waktu itu kamu tidak berkata padanya bahwa kamu membencinya," lanjut Ally.

Aku tau Ally sedang mencoba membangkitkan semangatku untuk melanjutkan hidup. Tetapi itu belum cukup. Rasa bersalah dalam diriku terlalu besar.

"Aku hanya tidak ingin dia pergi dengan perasaan sedih karena aku membencinya," kataku pada Ally.

Ally menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kamu dengan dia adalah saudara kembar. Aku pikir, kalian bisa saling mengerti satu sama lain," cetusnya.

Aku terdiam. Tertegun dengan ucapannya.

"Ketika Alice berbohong, apa kamu tidak tau?" tanya Ally.

Aku masih membisu. Mencoba mencerna pertanyaan Ally dengan baik.

Lelaki itu benar. Tidak pernah sekalipun Alice mampu berbohong padaku. Aku selalu tau ketika dia berbohong padaku.

"Jadi maksud kamu, dia tau aku berbohong saat itu?" tanyaku padanya.

Ally mengangguk. "Bisa jadi begitu. Mungkin dia juga tau kamu hanya sedang emosi sesaat."

Aku tidak tau sekarang harus bereaksi seperti apa. Aku hanya mampu terdiam.

Ally menatapku. Ia kembali bertanya, "jadi bagaimana perasaanmu sekarang? Sudah lebih lega?"

"Haruskah aku merasa begitu?" Aku bertanya balik padanya.

Dia terdiam. Sepertinya bingung dengan pertanyaanku.

LONELYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang