"Makasih atas bantuannya, Mbak Keisya."
Aku tersenyum mendengar ucapan Winda, sekertaris pengganti ku di kantor.
"Sama-sama," jawabku.
"Semoga masalah Mbak Keisya cepat selesai dan bisa kembali ke sini," ucapnya lagi.
Aku mengerutkan kening sambil menatap wajah Winda yang tersenyum manis itu. Ucapannya terdengar tulus tanpa dibuat-buat.
"Kenapa? Kamu tau 'kan kalau saya kembali posisi kamu bisa terancam?"
Aku tidak habis pikir dengan ucapan perempuan itu. Terlalu ... baik. Atau mungkin terlalu ... polos?
Winda tertawa pelan. "Saya tau kok, Mbak. Justru saya yang merasa tidak enak karena mengambil posisi Mbak Keisya."
Aku menganggukkan kepalaku, mengerti. Dia memandang dari sisi pandang yang baik ternyata. Mungkin aku bisa mendiskusikan posisi Winda dengan Paman Sam nanti ketika aku kembali kerja.
"Saya pamit yah, Win. Kalau ada sesuatu, kamu bisa hubungi saya," ucapku sambil tersenyum padanya.
"Siap, Mbak. Sekali lagi, makasih banyak yah, Mbak Keisya. Mbak baik sekali."
Aku meringis mendengar ucapan Winda. Dia terlalu banyak mengucapkan terima kasih dan pujian. Aku merasa tidak pantas mendapatkannya.
"Saya enggak sebaik itu, Win."
Winda lagi-lagi hanya tertawa pelan menanggapi ucapanku. Mungkin dia mengira itu hanya gurauan.
Aku menepuk pundaknya kemudian menganggukkan kepala, pamit. Ia membalas anggukan ku sambil tersenyum.
"Hati-hati, Mbak."
Aku lagi-lagi hanya mengangguk.
Kakiku melangkah keluar dari kantor. Aku melirik jam tanganku. Sepertinya masih sempat menghubungi Saki. Semoga saja lelaki itu tidak sibuk.
Aku meraih ponselku. Mencari nama Saki, lalu menelponnya.
"Hai, Kei." Terdengar suara Saki ketika telepon tersambung.
"Apa kamu sibuk?"
"Bisa dibilang iya, bisa juga tidak. Tetapi untukmu sepertinya tidak sibuk."
Jawabannya terlalu membingungkan.
"Bisa kita bertemu sekarang? Aku ada waktu luang."
"Maksud kamu bersama dengan Kak Saka? Atau kita berdua saja?"
Aku menghela nafas sebentar. Jika bukan karena kakaknya, aku tidak mungkin menghubungi adiknya.
"Bersama Kak Saka," jawabku setengah jengkel.
Terdengar suara tawa Saki di seberang telepon sana.
"Aku pikir kamu mau mengajakku kencan, Kei."
Aku tidak menanggapi ucapannya. Aku juga sempat dibuat bingung. Sikap Saki yang sekarang sangat berbeda dengan Saki yang aku temui waktu SMA. Saki yang sekarang ... sangat menjengkelkan.
"Tentu saja bisa. Aku akan memberitahu Kak Saka sekarang juga. Kamu silahkan kirim tempat lokasi kita bertemu."
"Oke."
"Bye, Keisya."
"Hm."
Aku segera menutup teleponnya. Setelah mengirim lokasi titik temu kami, aku memberhentikan taksi lalu menuju lokasinya.
Ya, ini memang harus cepat diselesaikan. Entah aku siap ataupun tidak.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
LONELY
Teen FictionKetika seluruh dunia tidak peduli pada lukaku dan ketika dunia berpihak pada sang durjana, aku terdiam. "Kenapa?" tanyanya. Karena itu hanya khayalanku. Aku yang merasa terlalu baik. Saat semua hal adalah kejahatan dimataku. Saat aku menjadi memb...