Aku duduk di halte sambil menepuk-nepuk tasku. Sepertinya, aku harus segera mencucinya. Ini sungguh menyebalkan.
Aku mengangkat kepalaku menatap jalan raya dan menghela nafas sebentar lalu memejamkan mata.
Sungguh tak mudah menjadi diriku yang sekarang. Silahkan membenciku yang begitu dingin dan ketus. Namun akan lebih sulit jika aku menjadi seseorang yang rapuh.
Semua tak mengerti itu. Mereka tak tau. Juga tak ingin tau. Aku lega karena mereka tidak penasaran dengan kehidupan pribadiku.
Aku kembali membuka mataku. Awalnya, aku menatap kendaraan yang berlalu lalang. Namun seseorang yang duduk di sebrang halte sana menarik perhatianku.
Lelaki itu lagi.
Entah kenapa aku merasa takut sekarang. Aku melirik ke arahnya. Kali ini tatapannya tak setajam biasanya.
Biasanya?
Sudah menjadi hal biasakah?
Entahlah.
Aku mencoba menarik nafasku lalu menghembuskannya secara perlahan. Aku harus tetap tenang. Dia tidak mungkin menyakitiku dengan jarak sejauh ini.
Aku mencoba untuk tetap menatapnya. Entah mengapa aku ingin membuktikan padanya bahwa aku tidak takut padanya.
Apa ini?
Ia nampak terkejut. Apa ada yang salah denganku? Dengan caraku menatapnya? Rasa takutku semakin berkurang.
"Kamu Alice?"
Dia berbicara di kejauhan sana. Aku memang tak mendengar suaranya. Namun gerakan mulutnya sangatlah jelas.
Kenapa lelaki itu selalu mempertanyakan hal yang sama? Kenapa?
Hatiku terasa sesak sekarang. Jarak ini, keberadaannya, membuat semuanya nampak semakin buram.
Aku menunduk menyembunyikan air mata yang hendak keluar. Kenapa aku menangis?
Oke, aku harus jujur sekarang.
Aku mengenalnya. Bahkan sangat mengenal gadis bernama Alice itu lebih daripada diriku sendiri.
Hatiku benar-benar terasa sesak dan nyeri sekarang. Begitupun air mata yang sudah menetes pada tas yang berada di pangkuanku.
"Kamu bukan Alice?"
Aku terlonjak kaget. Dengan cepat aku menoleh ke halte diseberang sana. Namun lelaki itu tak ada. Kini aku menoleh ke samping kiriku.
Lelaki itu sudah duduk di sebelahku. Memandang wajahku dan air mata yang masih mengalir di sana.
Aku kembali menunduk. Haruskah aku bernafas lega karena tidak menemukan tatapan tajamnya lagi?
"Maaf karena menyakitimu terakhir kita bertemu." Dia kembali berkata.
Aku memilih tak menjawab dan membisu sesaat. Emosiku menjadi tidak stabil sekarang. Hanya karena satu nama. Alice.
"Sebelumnya aku benar-benar mengira kamu berbohong karena berkata dirimu bukan Alice. Namun ketika kamu balik menatapku tajam, aku rasa kamu bukan Alice. Lalu kamu menangis sekarang membuat hatiku ragu kembali." Lelaki itu menjelaskan padaku tentang kebingungannya yang sebenarnya aku tidak peduli.
"Kamu mengenalnya?" Dia kembali bertanya. Oke, aku mohon. Buat lelaki ini pergi. Aku tak sanggup untuk menjawabnya.
"Aku mohon. Aku sangat ingin tau keberadaannya," katanya, lagi.
"Kamu berniat jahat?" Kini aku mulai membuka suara. Aku menoleh padanya ketika sudah bisa mengontrol emosi yang bergejolak di dada.
Lelaki itu menggeleng. "Aku ... sangat mencintainya. Bagaimana bisa berniat jahat? Yang kemarin, aku tidak bermaksud begitu."

KAMU SEDANG MEMBACA
LONELY
Novela JuvenilKetika seluruh dunia tidak peduli pada lukaku dan ketika dunia berpihak pada sang durjana, aku terdiam. "Kenapa?" tanyanya. Karena itu hanya khayalanku. Aku yang merasa terlalu baik. Saat semua hal adalah kejahatan dimataku. Saat aku menjadi memb...