Aku tersadar dari lamunanku ketika seseorang menepuk pundakku.
"Kamu yakin akan baik-baik aja di sini?" tanya lelaki itu sekali lagi sebelum benar-benar pergi meninggalkan aku.
Aku tersenyum, "tentu saja. Ini rumahku."
Lelaki itu menganggukkan kepalanya. Ia lalu meraih tanganku.
"Kalau ada sesuatu, telpon aku. Aku akan segera ke sini," ujarnya.
Aku mengangguk, "itu pasti."
"Oke, aku pergi. Jaga diri kamu baik-baik," katanya.
Aku lagi-lagi hanya mengangguk.
Lelaki itu melepaskan tanganku sambil tersenyum lalu berbalik pergi.
Aku masih menatap punggungnya hingga benar-benar hilang dari pandanganku. Barulah setelah itu aku menutup pintu.
Rumah ini menjadi terasa dingin setelah aku sendirian. Aku melangkahkan kakiku menuju kamar. Setelah menghabiskan waktuku seharian dengan membereskan rumah, sekarang rasanya tubuhku benar-benar lelah.
Aku menyandarkan punggungku ke dinding kamarku. Menutupi separuh tubuhku dengan selimut, aku meraih sebuah foto yang sudah lama sekali berada di atas meja belajarku.
Sebuah foto keluarga yang terlihat bahagia. Aku ingat sekali senyumku saat itu. Senyum yang aku paksakan.
Hingga sekarang pun aku belum mengerti kenapa aku tersenyum seperti itu dan kenapa juga aku tidak ingin tersenyum di momen bahagia itu? Saat Ayah dan mamaku merayakan ulang tahun pernikahannya. Harusnya aku bahagia.
Rasa penyesalan kembali muncul di hatiku. Penyesalan yang sangat besar hingga membuat dadaku sesak dan mataku memanas.
"Maaf. Maafin aku, Ma. Maafin aku, Yah." Aku berujar lirih.
Air mata perlahan mengalir di wajahku. Aku memeluk foto itu dengan erat. Perasaan ingin sekali memeluk mereka kembali muncul dengan menggebu-gebu.
Seandainya dulu aku lebih menghargai mereka. Seandainya dulu aku lebih mengerti mereka. Lalu seandainya dulu, aku sempat memeluk mereka.
Seandainya ....
Aku terisak.
Seluruh pertanyaan muncul di kepalaku membuat kepalaku berdenyut.
Apakah mereka akan menerima permintaanku bila aku meminta maaf? Apa mereka akan segera memelukku?
Kadang aku berpikir ingin kembali pada diriku sebelumnya. Yang selalu tidak perduli dan tidak banyak memikirkan sesuatu.
Namun aku segera mengenyahkan itu. Diriku yang dulu patut sekali aku benci. Ya, patut aku benci.
Aku meraih ponselku. Beberapa notifikasi pesan serta aplikasi sosmed mulai muncul.
Keningku mengerut ketika menemukan panggilan tidak terjawab dari salah satu nomor yang tidak dikenal
Aku segera melihat info nomor tersebut.
Devian Alexander.
Aku termenung sebentar. Nama itu. Tentu saja aku mengenalinya. Namun aku merasa masalahku dengan dia telah selesai. Selesai sejak lama. Sejak aku memutuskan tidak ingin berhubungan dengan nama itu.
Aku rasa, urusan kita belum selesai. Aku mohon, kita harus bertemu sekali lagi.
Pesan itu membuat hatiku terasa sakit. Sangat sakit. Aku rasa sudah cukup mereka hadir di kehidupanku dulu. Tidak perlu harus hadir sekarang.
Kehidupanku yang sekarang menurutku sudah lebih baik.
Aku menekan tombol 'blokir' untuk nomor itu.
Semuanya selesai. Aku inginnya begitu.
***
Halo, guys.
Gimana? Apa kalian udah paham alur cerita ini?
•Di masing-masing judul part tertera Twenty-one dan Sweet seventeen. Itu menandakan umur Keisya yah.
•Di part Twenty-one memang sengaja lebih sedikit dibandingkan Sweet seventeen.
•Beberapa nama tokoh aku ganti. Contohnya; Luhan menjadi Saki. Baekhyun menjadi Akins.
Sekian, semoga kalian paham.
Kalau belum paham silahkan langsung tanyain aja yah :')
Salam manis, Author.
permata_azzahra
KAMU SEDANG MEMBACA
LONELY
Fiksi RemajaKetika seluruh dunia tidak peduli pada lukaku dan ketika dunia berpihak pada sang durjana, aku terdiam. "Kenapa?" tanyanya. Karena itu hanya khayalanku. Aku yang merasa terlalu baik. Saat semua hal adalah kejahatan dimataku. Saat aku menjadi memb...