13 • Twenty-one | E.Z.H

180 12 0
                                    

Aku mengulum senyum ketika lelaki itu berjalan menghampiriku dengan seikat bunga ditangan kanannya. Tangan kirinya kemudian melambai padaku.

Aku ikut mengangkat sebelah tanganku, melambai ke arahnya. Hari ini kami berjanjian untuk bertemu kembali.

Padahal sebelumnya, hampir setiap hari kami bertemu. Namun semenjak kami sudah dewasa, kami memiliki urusan masing-masing hingga butuh berjanjian hanya untuk bertemu.

Ketika lelaki itu semakin dekat, aku bisa dengan jelas melihat wajahnya yang tersenyum hingga menampilkan lesung pipinya.

"Untukmu," katanya.

Aku tersenyum malu-malu. Hanya karenanya aku bisa merasakan emosi ini. Saat perutku terasa dipenuhi kupu-kupu terbang hingga aku tidak bisa menahan senyuman di wajahku.

"Terima kasih," ucapku sambil mengambil alih seikat bunga itu. Mendekatkan bunga itu ke hidungku, menghirup aroma khas dan segar dari bunga berwarna merah itu.

Aku mulai melangkahkan kakiku. Lelaki itu mengikuti langkahku menapaki taman yang dipenuhi pengunjung itu.

Aku masih menatap mawar di tanganku sambil tersenyum manis. Bahagia sekali rasanya.

"Sepertinya kamu menyukai bunga itu. Aku pikir kamu akan membuangnya," kata lelaki di sebelahku.

Aku memberengut, pura-pura marah. "Kata siapa aku akan membuangnya?"

Lelaki itu mengacak rambutku pelan, "oke, lain kali aku akan membelikan lagi untukmu."

Aku tersenyum makin sumringah.

Namun pandanganku tiba-tiba mengarah pada beberapa gadis remaja yang masih mengunakan seragam SMA mereka.

Aku memperhatikan mereka dengan senyum tak selebar tadi. Mereka mengingatkan aku pada teman-temanku.

Lelaki di sebelahku mengikuti arah pandang ku.

"Mereka kenapa masih di sini? Ini sudah terlalu sore," ujar lelaki di sebelahku.

"Bukankah kita juga dulu begitu?" Aku menyindirnya.

Lelaki itu terkekeh sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Aku kembali menatap mereka yang tengah terlihat asyik bercengkrama.

"Kamu merindukan masa sekolah dulu?"

Aku menoleh pada lelaki itu, "tentu saja. Kita tidak bisa kembali mendapatkan waktu ketika itu."

Lelaki itu menganggukkan kepalanya. Mengiyakan perkataan ku.

"Setahuku, kamu dulu tidak sama sekali berniat sekolah."

Aku tersenyum, "memang iya. Salah satu alasanku adalah tidak ingin bertemu banyak orang. Rasanya takut sekali dan perasaan tidak ingin bertemu itu membuncah di dadaku mengalir ke seluruh tubuhku hingga jika dipikirkan terus-menerus membuat tubuhku jatuh sakit."

Lelaki itu mengerutkan keningnya, "separah itu?"

Aku menganggukkan kepalaku lalu duduk di sebuah bangku taman. Ia lalu mengikutiku.

"Aku tidak tau jika separah itu," katanya. Ia menatapku dengan cemas.

Aku justru tersenyum. "Aku sekarang merasa lebih baik," ujarku.

"Jika aku saja aku tau it..."

"Aku akan tetap menyembunyikan itu darimu sekalipun waktu terulang. Aku tidak ingin kamu khawatir begini." Aku segera memotong ucapannya.

"Pasti berat sekali bagimu menjalani semua itu."

Aku kembali menoleh pada para anak remaja perempuan tadi.

LONELYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang