32 | Misunderstood

153 12 0
                                    

Aku melangkah beriringan dengan Ally menuju rumah Tante Sarah. Tidak begitu jauh hanya beberapa langkah saja. Namun hal ini sempat membuatku harus berdiri di bawah matahari yang mulai terasa terik.

Aku menghentikan langkahku lalu menutup mataku sebentar. Kedua mataku mulai berair. Aku merasakan seseorang meraih lenganku.

"Kei," panggil Ally.

Aku meraih sapu tangan di sakuku. Mengelap kedua mataku yang berair. Kemudian aku membuka mataku. Aku menoleh pada Ally.

"Enggak papah. Cuma gejala flu biasa," ujarku padanya.

Ally menganggukkan kepalanya.

Aku mengetuk pintu setibanya di rumah Tante Sarah. Tidak lama kemudian, pintu terbuka perlahan-lahan.

"Kei? Sudah sampai. Eh, ada Ally juga. Masuk dulu, yuk. Sarapan dulu." Tante Sarah menyambut kedatangan kami.

Aku menolak ajakan Tante Sarah dengan halus. Tidak lama kemudian, Cia muncul dari dalam rumah sambil membawa koper.

"Kak Ally?"

Aku mendengar suara Cia yang ditujukan pada Ally. Aku menoleh pada lelaki itu.

"Hai, Cia." Ally tersenyum ramah pada Cia.

"Dimana mobil Kak Ally?"

"Ada di depan sana. Mau Kakak antar?" Ally menawarkan.

Cia segera mengangguk.

"Sini biar Kak Ally bawain," ucap Ally. Lelaki itu langsung mengambil alih koper milik Cia.

Lelaki itu sempat menoleh dulu padaku, menganggukkan kepalanya sedikit, meminta izin, kemudian melangkah lebih dulu bersama Cia menuju mobil.

Aku mengangguk menyahuti anggukan kepala Ally lalu beralih menatap Tante Sarah. Aku memeluknya erat.

"Makasih, Tante Sarah. Tante udah banyak sekali bantu kami. Entah bagaimana lagi kami membalasnya."

Tante Sarah mengelus lembut kepalaku. Kemudian berkata dengan lembut, "tante ngebantu kalian itu ikhlas. Kalian tidak perlu memikirkan cara membalasnya. Tante sudah menganggap kalian seperti anak Tante sendiri."

Aku memejamkan mataku. Menikmati sebentar kehangatan pelukan seorang Ibu. Aku mengulum senyum.

"Kak Keisya." Panggilan seseorang membuatku melepas pelukan Tante Sarah. Aku menoleh pada sang pemanggil.

"Gibran?"

Gibran menunduk menatap kakinya. Aku rasa itu adalah kebiasaannya ketika dia gugup atau merasa bersalah.

"Maafin aku, Kak Kei. Aku bukan teman yang baik untuk Cia."

Kedua sudut bibirku terangkat. Lelaki yang berumur tujuh belas tahun itu tidak berubah sama sekali. Sifatnya masih sama ketika dia masih kecil. Menyesali sesuatu yang telah terjadi.

Jika dilihat-lihat Gibran cukup tampan untuk anak seusianya. Mungkin jika sifat jahilnya menurun sedikit, Velicia tidak akan bersikap seburuk itu padanya. 

Tangan kananku meraih pundak Gibran. "Kamu enggak perlu minta maaf sama Kakak, Gibran. Kakak justru mau ngucapin terima kasih karena kamu udah mau nerima Keisya di sini."

Gibran nampak tidak puas dengan jawabanku. Dia belum mengangkat kepalanya.

"Gibran sempat minta maaf dengan, Cia. Gibran sadar, kalau sikap Gibran udah keterlaluan. Tapi kayaknya Cia belum maafin Gibran."

"Mungkin Cia sedang emosi sesaat, Gibran. Kamu bisa minta maaf lagi lain kali," kataku.

Gibran menganggukkan kepalanya.

LONELYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang