Pantulan bola basket terdengar dari lapangan. Aku berjalan tanpa menoleh sedikitpun. Ya, karena aku memang tidak perduli.
Aku lebih memilih melangkahkan kaki ini ke perpustakaan dibandingkan tempat ramai seperti kantin. Kebetulan juga aku memang tidak lapar. Meskipun aku belum sarapan. Sepertinya perutku sudah terbiasa seperti ini.
"Kei!"
Ah, aku mengenali suara itu. Lelaki yang juga memiliki lesung pipi seperti Ally dengan tubuh yang begitu tinggi. Ya, begitu tinggi dariku yang memang pendek.
Aku malas membahas itu.
Dia berlari ke arahku dengan rambut yang sudah basah oleh keringat. Itu menambah kharismanya. Namun aku sama sekali tidak tertarik.
Dia sudah berdiri dihadapanku dengan senyumannya. Senyuman yang sering disebut-sebut bisa membuat hati gadis-gadis luluh. Tentu saja terkecuali untukku. Ya ampun. Aku kembali merasakan hatiku mendingin.
Aku tak membalas senyumnya. Kenapa? Karena aku takut itu hanyalah sebuah kebohongan. Aku takut itu hanya tipu daya. Dan aku takut ... untuk jatuh padanya.
Harus aku beritahu. Lelaki dihadapanku ini begitu multitalent. Ia bisa berbagai macam alat musik, seorang rapper, juga jago dalam olahraga. Pun dalam bernyanyi.
Aku terlalu menduga bahwa senyum itu adalah senyum yang diberikannya pada setiap wanita. Salahkan aku?
"Apa?" tanyaku galak.
Dia terkekeh pelan. "Galak banget sih. Main basket yuk!" ajaknya.
Mungkin itu tawaran menarik jika lelaki bernama Chan Ardana Melviano itu menawarkan pada gadis lain. Tapi tak menarik untuk seorang gadis bernama Keisya Catisha.
"Nggak tertarik!"
Aku begitu tega, yah? Lihatlah senyum berkharismanya pudar.
"Yah, kok gitu? Terus sekarang elo mau kemana?" tanyanya. Ia terlihat kecewa.
"Ke perpus." Aku menjawab singkat.
Dia nampak berfikir sejenak. Namun aku memotong karena melihat ketiga temannya menghampiri.
"Gue duluan."
Aku berjalan begitu saja meninggalkannya. Kenapa aku begitu tega? Hatiku ... tanya saja padanya.
Aku memasuki perpustakaan dengan langkah pelan. Berharap takkan ada pengganggu di sini. Ya, tentu saja. Sang pengganggu untukku di sekolah ini adalah tiga orang yang terkenal sebagai sahabatku. Dan mereka tidak mungkin ke perpustakaan.
Buk!
Seseorang menabrakku. Aku membantunya merapihkan buku-bukunya yang jatuh. Aku baik bukan? Aku lalu memberikan buku itu padanya. Ia nampak terkejut melihat wajahku. Memangnya kenapa wajahku? Ada sesuatu yang aneh, kah?Kurasa tidak.
"Keisya?" tanyanya.
"Em, iya. Anda kenal saya?" tanyaku dengan panggilan formal. Terlalu formal mungkin. Kenapa aku jadi begitu sopan?
Lagipula memangnya sebelumnya aku tidak sopan?
Ah, aku bingung dengan diriku sendiri. Aku tidak gila, kan?
Dia mengangguk. "Kamu sering dateng ke perpustakaan. Aku sering diminta jagain perpustakaan sama pak David."
Wah, dia menggunakan aku-kamu. Haruskah aku juga mengikuti cara bicaranya?
"Oh." Tentu tidak. Hanya itu jawabanku. Berharap tak ada percakapan lagi. Aku hendak pergi.
"Kita juga sekelas. Apa kamu nggak pernah merhatiin eh maksud aku ... kamu nggak pernah tau aku sekelas sama kamu?" Ia nampak salah tingkah. Juga nampak bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
LONELY
Fiksi RemajaKetika seluruh dunia tidak peduli pada lukaku dan ketika dunia berpihak pada sang durjana, aku terdiam. "Kenapa?" tanyanya. Karena itu hanya khayalanku. Aku yang merasa terlalu baik. Saat semua hal adalah kejahatan dimataku. Saat aku menjadi memb...