Aku meringis begitu merasakan pusing di kepala ku saat aku membuka mata. Aku lalu memijat-mijat pelipisku.
"Kamu udah bangun, Kei?"
Suara Ally yang memasuki gendang telinga ku membuat aku sadar keberadaannya di sebelahku.
Aku tidak menjawab. Hanya menatapnya yang tengah mengambil segelas air bening.
"Minum dulu, Kei," ucap Ally sambil menyelipkan tangannya ke belakang leherku—membantuku minum.
Ally lalu menaruh gelas berisi air ke tempatnya setelah aku meneguk setengahnya.
Aku mencoba mendudukkan tubuhku—dengan bantuan Ally. Kedua mataku masih tidak luput dari lelaki pemilik lesung pipi itu.
"Ini bubur buatan Bunda. Kamu makan dulu yah?" Ally berkata dengan kedua tangan yang memegang mangkuk berisi bubur. Tangan kanannya lalu memegang sendok dan mengarahkannya padaku.
Aku menggeleng. "Biar aku makan sendiri."
Ally menyerahkan mangkuk itu dengan hati-hati kepadaku. Suasana kamar yang sepi membuat aku masih bisa mendengar helaan napas kecewa dari Ally.
Aku mulai menyuapkan sesendok bubur putih itu ke dalam mulutku. Mengunyahnya pelan-pelan. Lidahku yang terasa hambar mulai beradaptasi dengan rasa bubur itu.
Ally bangkit dari duduknya. Ia menuju jendela kamarku. Tangannya bergerak menggeser gorden kemudian membuka jendela. Cahaya matahari pagi diiringi udara segar memasuki kamarku.
"Kata dokter maag kamu kambuh. Kamu jarang makan yah, Kei?"
Lagi-lagi aku tidak menjawab pertanyaan Ally yang terdengar seperti pernyataan di telingaku. Aku tetap fokus mengunyah bubur.
Ally kembali duduk di kursi sebelumnya. Ia tidak melakukan apapun selain memperhatikan aku. Seperti hari sebelumnya, aku tidak melihat senyumnya.
"Aku menghubungi Saki semalam," ungkap Ally.
Gerakan mengunyah bubur di mulutku terhenti. Aku mencoba meraih gelas berisi air bening. Ally kembali membantuku. Aku meneguknya hingga habis.
Ketika Ally mengambil alih gelas itu, aku ikut menyerahkan mangkuk bubur yang masih tersisa isinya. Ally kembali menghembuskan nafas. Tetapi ia tetap mengambil alih mangkuk itu.
"Kamu jangan terlalu banyak pikiran, Kei. Dokter bilang kamu juga mengalami stress ringan." Ally kembali berkata.
Akhir-akhir ini memang semua terasa lebih berat. Semua hal yang terjadi mengganggu pikiranku.
Kedua mataku menoleh ke arah lain. Tidak ingin melihat wajah lelaki tampan di sebelah kiri ku yang terlihat khawatir.
"Kata Saki, terakhir kali kalian bertemu itu kamu mengantar dia dan kakaknya ke makan Alice. Jadi kamu hujan-hujanan ketika kamu berada di pemakaman?"
Aku meliriknya sekilas lalu beralih menatap kedua tanganku. "Memangnya kenapa?"
"Kamu seharusnya memberi tahu aku, Kei. Aku bisa menemani kamu."
"Kenapa?"
"Karena aku ... um, aku sahabatmu."
Aku menoleh pada lelaki itu. Kedua bibir Ally terlihat tertarik sedikit ke bawah. Matanya menyorotkan kekecewaan yang mendalam.
Kedua alisku terangkat. Aku lalu mengalihkan wajah. Hatiku tiba-tiba merasa tidak nyaman.
"Maaf karena aku sempat salah paham padamu. Aku sudah berpikir buruk tentangmu."
Aku menganggukkan kepala. Merasa tidak masalah tentang hal itu.
"Kei, jangan lakukan itu lagi yah." Ally berujar.
KAMU SEDANG MEMBACA
LONELY
Teen FictionKetika seluruh dunia tidak peduli pada lukaku dan ketika dunia berpihak pada sang durjana, aku terdiam. "Kenapa?" tanyanya. Karena itu hanya khayalanku. Aku yang merasa terlalu baik. Saat semua hal adalah kejahatan dimataku. Saat aku menjadi memb...