Aku tersadar dari lamunanku. Sepertinya aku lagi-lagi melamun.
Aku menjulurkan tangan kananku keluar jendela. Hari ini hujan kembali turun. Langit begitu gelap dengan beberapa suara petir yang menggelegar.
Perlahan tetesan air membasahi tangan kananku. Aku menariknya kembali. Terlalu dingin di luar.
Ingatanku masih sangat kuat di setiap inci kejadian masa lalu.
Nama-nama mereka yang pernah singgah di kehidupanku kembali teringat.
Helena, Elena, Zelma.
Ketiga temanku itu.
Kira-kira bagaimana keadaan ketiga temanku itu? Selepas lulus dari SMA kami benar-benar tidak saling berhubungan.
Semoga saja mereka baik-baik saja.
Bahkan hingga hari ini, aku masih tidak paham dengan sistem pertemanan kami. Mengatasnamakan popularitas. Sangat tidak masuk akal.
Lebih tidak masuk akal karena aku bergabung di sana.
Aku bergabung dengan mereka, lalu populer, lalu aku merasa terganggu, lalu aku sering sekali bertengkar dengan mereka. Itu tidak memiliki keuntungan sama sekali.
Terlebih saat tau ketiga temanku itu menyukai beberapa lelaki yang sering berhubungan denganku.
Bukan, bukan hubungan berarti. Hanya sekedar bergabung dengan band para lelaki itu saja. Mereka sangat percaya padaku untuk bergabung bersama mereka.
Alciza's.
Bahkan hingga sekarang kami masih sering tampil bersama-sama di beberapa tempat.
Yang parahnya adalah ketika aku baru menyukai tampil bersama mereka akhir-akhir ini. Setelah sebelumnya aku menjalaninya dengan terpaksa. Ya, tentu saja karena mereka semua memaksaku.
Namun sekarang aku sadar, sungguh hal yang patut aku syukuri bisa bergabung dengan mereka. Karena mereka pula aku menjadi lebih mengerti tentang musik.
Tetapi jika diingat kembali, sepertinya alasanku tetap bergabung dengan mereka selepas lulus SMA bukan hanya itu.
Selepas lulus dan masuk kuliah, kabar duka datang dari keluargaku.
Aku harus kehilangan lelaki yang tanpa sadar sangat aku sayangi.
Lelaki yang baru aku sadari, tanpanya keluargaku sangat kesulitan.
Ayahku.
Aku mengigit bibirku. Menahan isak tangis yang hendak keluar.
Aku sangat menyesal saat itu.
Aku tidak siap membahas ini sekarang.
Bahkan aku enggan membahas hal ini dengan diriku sendiri. Lebih baik aku membahas ini nanti saja.
Aku melangkah menuju dapur. Meraih segelas air putih lalu meneguknya hingga tidak tersisa.
Mataku menelusuri seisi dapur. Aku kemudian tersenyum miris.
Aku membuka kulkas lalu mengambil beberapa bahan masakan untuk membuat sarapan pagi ini dengan nasi goreng.
Aku mulai mengolahnya.
Hatiku kembali terasa perih.
Sejak dulu Mama ingin sekali aku bisa bangun pagi-pagi seperti ini lalu memasak sarapan untuk keluarga kami. Beliau selalu merasa aku sudah dewasa dan patut belajar itu semua.
Hari ini, aku baru menyadarinya.
Menyadari bahwa perkataan Mama itu sangat benar.
Dan jika saja aku menyadarinya sejak dulu, mungkin aku sudah memasak dengan lebih baik atas bantuan Mama.
Aku benar-benar menyesal. Penyesalan yang begitu dalam yang aku rasakan hari ini, sungguh tidak ada artinya lagi. Itu poin dari semua ini yang membuatku merasa lebih sakit.
Setelah selesai membuat sarapan pagi ini, aku membawanya menuju meja makan.
Aku meremas jari-jari tanganku. Begitu sakit hatiku. Sesak kembali hinggap memenuhi rongga dadaku.
Bayang-bayang Mama yang menyiapkan sarapan, bayang-bayang Ayah yang membaca koran, serta bayang-bayang Cia yang tengah mengunyah sarapannya.
Semuanya masih sangat jelas. Begitu jelas.
Aku kira, kehidupanku akan lebih baik tanpa mereka.
Aku kira, semua akan lebih baik jika aku sendiri.
Lalu aku kira jika aku kehilangan mereka, itu tidak apa-apa.
Aku ingin merutuki diriku sendiri.
Sekarang aku hanya bisa membiarkan diriku tersiksa dengan rasa sakit ini. Dia harus tau akibat semua dari pikirannya selama ini. Biar tau rasanya bagaimana benar-benar kehilangan semuanya.
Bagaimana rasanya benar-benar ditinggalkan sendirian dan kesepian.
Inilah hukuman untuk diriku.
Aku menggigit bibir, menahan isak tangis.
"Kei," panggil seseorang.
Aku tau siapa yang memanggilku. Suaranya sangat familiar. Namun aku tidak berani menoleh. Lebih tepatnya tidak berani menunjukkan wajah sedih ini lagi padanya.
Sebuah tangan merangkul pundakku. Mengelusnya pelan, seakan ingin menenangkan aku.
Namun aku justru makin terisak.
"Aku tau ini pasti berat untuk kamu," katanya.
"Aku sudah bilang ini padamu bukan? Keputusanmu untuk kembali ke rumah ini patut dipikirkan lagi. Di sini akan sangat menyakitkan untuk kamu," ucapnya lagi.
Aku memejamkan mataku. Menahan rasa sakit di kepalaku. Sungguh rasanya sebenarnya lelah.
"Untuk apa menghukum dirimu? Kamu harus terus berjalan ke depan dan memulai kembali hidup kamu. Adikmu masih membutuhkan kakaknya."
Lelaki itu duduk di sebelahku. Meraih tanganku. Menggenggamnya erat.
"Aku ada di sini. Jadi, tolong dengarkan aku," katanya lagi.
Aku mengangkat kepalaku, menatap matanya yang menatapku lekat.
Tangan lelaki itu kini beralih ke pipiku. Mengusap air mata yang masih mengalir di sana.
Dia kemudian meraih tubuhku ke pelukannya. Membiarkan diriku yang kembali terisak di sana.
"Maafkan aku yang tidak bisa berbuat banyak," bisiknya.
Aku tidak menjawab. Sungguh ini bukan salahnya.
~•~
KAMU SEDANG MEMBACA
LONELY
Teen FictionKetika seluruh dunia tidak peduli pada lukaku dan ketika dunia berpihak pada sang durjana, aku terdiam. "Kenapa?" tanyanya. Karena itu hanya khayalanku. Aku yang merasa terlalu baik. Saat semua hal adalah kejahatan dimataku. Saat aku menjadi memb...