=======================================
“Bangun cepat kalau nggak mau telat.”
Pesan dari saudaranya itu selalu Clara ingat agar ia tidak kesiangan. Tak akan ada yang membangunkannya besok. Kalaupun ada yang melakukannya mungkin tak akan berhasil karena ia punya telinga yang kebal saat tidur.
Alarm sudah ia setel di handphone canggih miliknya. Tak lupa pula jam alarm yang dibeli ibunya. Meski begitu, dua benda itu tak juga mampu bekerja untuk membangunkannya dari tidur nyenyak. Alhasil Mama lah yang harus turun tangan. Bahkan Papa lebih memilih untuk membiarkannya tak masuk sekolah dari pada berusaha membangunkannya.
Sayangnya, Mama sedang pergi bersama Papa. Membuatnya jadi bangun kesiangan.
“Mana Fano, Bi?” tanya Clara sambil memasang sepatu dengan terburu-buru. Ia bahkan tak mandi. Hanya memoleskan bedak dan parfum.
“Udah pergi, nak. Minum susu dulu sama makan sedikit, ya.” Wanita tua itu sudah memegang segelas susu dan sepiring roti untuknya. Clara ingin menolak, tapi sarapan sudah terlanjur dibuat.
“Bibi aku makan di mobil aja.” Ia merebut gelas itu sampai isinya tumpah sedikit dan meminumnya setengah.
“Pelan-pelan, Clara.” Bibi menunjukkan raut khawatir. Takut kalau Clara sampai tersedak.
“Maaf tumpah, Bi.” Ia mengelap mulutnya. “Makasih, ya, Bibi. Pergi dulu,” ucapnya berpamitan tak lupa mengambil selembar roti lengkap dengan isinya. Ia berlari kencang menuju keluar rumah. Kebetulan Pak Toriq, sopir keluarganya baru pulang dari bandara.
“Bapak! Anterin Clara!” serunya sebelum tiba di garasi karena mobil baru dimasukkan.
“Loh. Belum pergi, nak? Kirain tadi sama Fano.”
“Aku ditinggalin,” ucap Clara ngos-ngosan karena habis berlari. Sebenarnya ia sedang menahan emosi karena abangnya itu tega meninggalkannya. Tapi rasanya tak mungkin menunjukkan amarahnya karena dapat merugikan orang lain. Hanya karena moodnya sedang kacau. Jadi ia menahannya.
Akan ada orang yang tepat untuk menjadi samsaknya kelak.
“Tapi mobilnya mau dibawa ke bengkel, nak. Bapak pesenin–”
“Aduh, Pak. Enggak bisa.” Clara mulai memohon. “Ayo, dong, Pak. Nanti telat.”
“Bukan nggak mau Bapak anterin. Tapi mobilnya tadi–”
“Pake mobil satu lagi, deh!”
“Bapak nggak tau kunci mobilnya, Nak.”
Clara menghela nafas lelah. Keterlaluan. Ia sudah kehabisan cara kalau seperti ini. “Mobilnya nggak mogok, kan, Pak? Anterin dulu lah. Tolong.”
Pak Toriq tampaknya tak bisa menolak lagi. Pria itu akhirnya masuk kembali ke dalam garasi dan menuruti kemauan anak majikannya itu. Karena yang dipikiran Clara saat ini adalah ia harus tiba di sekolah. Kalau saja tidak ada ujian, mungkin dengan senang hati ia akan melewati hari ini.
Namun ternyata kesialan tak berakhir disitu.
“Pak kok jalannya pelan?” tanya Clara heran karena mobil berjalan sangat lambat. “Nggak habis bensin, kan?”
Kali ini, mobil benar-benar mati. Yang tadinya berjalan tersendat-sendat kini tak bergerak lagi.
“Itu, Nak.” Pria itu tampak bingung hendak menjelaskan bagaimana. “Bapak, kan, udah bilang. Mau dibawa ke bengkel. Soalnya tadi sempet mogok juga tapi didorong.”
Apa?
Clara ingin menjatuhkan rahangnya saat ini juga rasanya.
“Mau bantu Bapak dorong mobil?”
KAMU SEDANG MEMBACA
We (didn't) grow up Together
RandomDulu sewaktu kecil, Fano dan Clara sangat lengket bak prangko dan kertas. Kemanapun Fano pergi maka Clara akan ikut. Kemanapun saudaranya itu melangkah maka Clara akan ada di belakangnya. Sampai semua orang tahu jika mereka adalah kakak beradik. Ten...