Happy reading💗💗💗
=======================================
Sungguh, jika bertemu Fano ia akan memukul kepala itu kuat-kuat beserta menginjak kaki itu. Serangan terakhir akan ia berikan ketika lelaki itu sudah lumpuh. Clara benar-benar kesal dibuat seperti ini.
Siapa yang tidak kesal ditinggal sendirian di parkiran? Katanya, Fano akan menunggunya pulang bersama. Clara tak masalah menyusul lelaki itu ke fakultasnya. Yang berjarak 400 meter dari gedung belajarnya dengan jalanan yang tak rata. Naik turun. Lalu apa yang ia temukan? Tak ia lihat motor lelaki itu ada di parkiran. Fano mengabarinya jika sedang bermain basket di lapangan olahraga. Tepat setelah pesan itu masuk, ponselnya mati. Terpaksa ia menyusul kesana dengan berjalan kaki lagi.
Tahu begini ia akan meminta tolong pada Laras untuk mengantarnya ke sana. Laras selalu membawa motor. Tapi ia tidak menggunakan kesempatan itu dengan baik.
“Kalo hape gue nggak lowbat udah minta jemput kali!”
Ia tiba di lapangan universitas yang saat ini sedang ramai. Ada tiga lapangan. Satu lapangan untuk lari beserta lintasannya, satu lapangan untuk bermain volly, lalu satunya untuk basket. Clara menunggu dari tribun paling atas. Ia melihat ke arah Fano dengan tatapan kesal.
Tapi raut wajah kesal itu perlahan menghalus saat melihat sosok yang pernah mengisi hatinya, ikut bermain di sana.
Amarahnya mereda untuk beberapa saat. Tapi dari wajahnya kentara sekali jika ia masih kesal.
Fano selesai bermain. Ia bertos ria dengan teman-temannya sebelum membubarkan diri. Ia melihat adiknya duduk seorang diri, menyendiri dari para penonton. Clara memberikan tatapan horor padanya. Ia tahu adiknya sedang marah. Maka ia melambaikan tangan, meminta Clara untuk turun.
Clara turun dengan wajah cemberut. Ia masih menahan tangannya untuk tidak menarik rambut itu.
“Abang mau bilang tunggu aja disitu, tapi nomor kamu nggak aktif.”
“Hape aku mati,” ucapnya singkat.
“Nggak usah marah.”
“Siapa yang nggak kesel jalan sejauh itu? Dikira nggak capek?” tanyanya marah. Tapi meski begitu ia tetap menjaga nadanya.
“Kamu yang mau pulang sama Abang, kan. Nurut aja.”
Fano berjalan menuju tasnya yang ada di pinggir lapangan. Clara mengepalkan tangan. Ia ingin sekali menghajar saudaranya itu. Tapi ia tak punya tenaga lebih. Ponselnya pun mati, jadi tidak bisa mencari jalan untuk menyelamatkan diri.
Kepalan itu mengendur saat Clara melihat seseorang datang menghampiri Fano. Ia membalikkan badan, menunggu di tempat lain saja.
“Besok lo free nggak, Fan?”
“Tai kucing,” gumam Clara kesal. Ia mencari keberadaan motor Fano. “Ngeselin!”
Sungguh, jika ponselnya hidup saat ini ia sudah meminta Pak Toriq menjemputnya. Dengan begitu ia bisa meninggalkan jejak di motor Fano.
“Masih aja kayak bocah, Clara.” Fano datang setelah mengganti baju dengan kaos hitam biasa. “Pantesan nggak ada yang naksir kamu. Kayak bocah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
We (didn't) grow up Together
RandomDulu sewaktu kecil, Fano dan Clara sangat lengket bak prangko dan kertas. Kemanapun Fano pergi maka Clara akan ikut. Kemanapun saudaranya itu melangkah maka Clara akan ada di belakangnya. Sampai semua orang tahu jika mereka adalah kakak beradik. Ten...