BAB 7: Masih kecil

242 31 1
                                    

=========================================

Di malam yang dingin itu, Dela tidak bisa tidur. Ia gelisah sejak pulang sekolah. Kehadiran Fano sempat menenangkannya. Sayangnya cowok itu tak lagi menginap di sini, dan itu cukup meresahkan Dela. 

Ya Tuhan, jangan sampai dia ke sini.

Tepat setelah ia merapalkan doa, pintu kost nya diketuk. Ia langsung tersentak. 

Ketukan itu terus terdengar. Tak ada suara yang memanggilnya. Dan itu semakin membuatnya curiga dengan siapa yang mengetuk pintu kamarnya malam-malam begini.

Sungguh merepotkan bila ia pindah kost lagi, hanya untuk menghindari jelmaan iblis itu. 

Ketukan itu berangsur pelan, dan tak terdengar lagi. Dela masih setia meringkuk di kasurnya. Ia melihat jendela yang tertutup itu. Lalu sebuah bayangan dari luar terlihat olehnya. Degup jantungnya semakin cepat. Ia takut bukan main. 

Suaranya hampir saja keluar saat gagang pintu itu digerakkan. Ia buru-buru mengambil ponsel. Mencari kontak teratas yang sering ia hubungi. Tapi setelah melihat jam ia urungkan niatnya itu.

Tak punya pilihan lain. Ia akhirnya menghubungi seseorang yang sudah sangat lama tak ia hubungi. Meski jarak mereka jauh, tapi pria itu sudah pasti ia andalkan.

Bunyi lagi-lagi terdengar dari pintu. Entah apa yang dilakukan pada pintunya itu. Dela semakin gelisah dan cepat-cepat mengirimkan pesan.

Dan pintu terbuka. Dela langsung memaku di tempat. Tubuhnya seperti batu dan hanya bisa diam karena dikuasai ketakutan. 

“Hai, sayang.”

Dela ingin berteriak. Tapi ada pisau di genggaman tangan cowok itu. Ia hanya bisa menangis. Cepat-cepat ia mengunci ponselnya.

Harusnya ia tidak pulang saat melihat Rian ada di kawasan tempat tinggalnya. Harusnya ia pergi saja mencari tempat yang lebih aman.

*****

Menyukai dalam diam itu nggak ada salahnya. 

Apa yang dikatakan Clarisa ada benarnya. Ia memilih untuk menyukai Bintang diam-diam saja. Melihat cowok itu bermain basket, melihatnya berjalan di koridor, melihatnya makan di kantin, melihatnya ada di sekolah, hal sederhana seperti itu ternyata mampu membuat Clara diam-diam tersenyum. Kupu-kupu diperutnya terbang membuat euphoria nya bangkit. 

Meski kadang ingin sekali mengejar Bintang, menyatakan perasaannya dan menyukainya secara ugal-ugalan, brutal, dan tak sabaran. Karena Clara tak pernah sesabar ini sebelumnya. Nyalinya tak cukup besar melakukan itu apalagi sejak kejadian di lapangan basket waktu itu.

Cowok kalo kita kejar biasanya iflil, Ra. Kalo lo mau lihatin dia boleh, kok. Mau nonton pertandingan basket dia. Tapi cuman nonton aja, ya.

Bak pakar cinta, Clarisa amat sangat bijak menceramahinya. Clara heran ternyata gadis yang ia kira sangat polos itu ternyata punya hubungan rahasia dengan mantan Ketua Osis, yang tidak diketahui warga sekolah. Mengingat lagi Clarisa adalah orang yang pemalu, hal itu mulai terdengar masuk akal. Clara pernah melihat keduanya pulang dan pergi ke sekolah bersama.

Karena Clarisa, ia mulai bisa menahan dan mengontrol dirinya. Ya, dampak positif lainnya adalah ia tak lagi ringan tangan.

Tapi bukan berarti tutur katanya juga akan ikut berubah.

“Iya, deh. Tau punya mata tapi nggak usah melotot gitu!”

Mata Clara ikut membalas menatap seorang perempuan yang tadi berpapasan dengannya. 

We (didn't) grow up TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang