BAB 3: Murka

378 36 3
                                    

=======================================

Clara tak mau bersekolah. Bukan karena kesiangan. Tapi ia merasa kehilangan motivasi karena kejadian semalam. Mendadak ia merasa hampa. Semalaman ia menangis sampai matanya bengkak. Entah karena omelan Mama, atau karena semua emosi yang tak bisa ia kendalikan dengan baik.

Apalagi setiap melihat Fano, kekesalannya semakin bertambah berkali-kali lipat. Jangan mengira Clara menyesal karena perbuatannya kemarin. Ia masih berbaik hati karena tidak merusak motor Fano. Ia tidak tahu sejak kapan menjadi tak suka begini terhadap saudaranya itu.

Clara tak pernah merencanakan menjadi kacau begini. Menurutnya semua kacau. Hubungannya dengan orang tuanya menjadi retak. Setelah ini ia harus keluar kamar untuk meminta maaf. Tapi hatinya ragu karena merasa ini bukan situasi yang tepat.

Apakah Mama dan Papa jadi perang dingin? Mereka bahkan tak ada yang masuk ke kamarnya. Malah Bibi yang mengantar sarapan. Dan karena itu ia jadi menangis lagi.

"Mama beneran Marah huaaaa!"

Hati Clara menjerit. Tapi ia hanya bisa menangis cengeng seperti anak kecil yang tidak diperbolehkan jajan oleh orang tuanya.

"Bibi jangan pergi," ucap Clara ketika wanita itu hendak keluar dari kamarnya.

"Mau Bibi di sini, ya? Bibi selesain dulu kerjaan di dapur, ya, nak."

"Suapin aku, Bi." Clara memohon. "Aku sedih dari semalem sepi banget. Kemarin-kemarin, kan, aku berantem mulu sama Fano."

"Ya udah." Bibi akhirnya mau menyuapinya. Clara masih sesenggukan, tapi harus tetap makan.

"Akwu kangwen banghet shama Mama." Mulut Clara penuh akan roti. Tapi ia segera menelannya setelah dikunyah. "Mau manja-manja sama Papa. Tapi pulang-pulang mereka marah."

"Yo siapa nggak marah liat kelakuan kamu, nduk."

"Fano ngeselin Biii!" Clara masih tak mau disalahkan kalau perihal itu.

"Nduk, coba pikirin ini. Kalo kamu marah ndak perlu rusakin barang kayak gitu. Belinya pakai uang. Di luar sana banyak yang butuh mobil tapi nggak bisa beli. Perbuatan kamu jadi berdampak buruk, kan, sekarang. Nggak ada untungnya buat kamu."

"Ada."

Bibi mulai lelah menghadapinya. Kentara dari raut wajahnya yang perlahan berubah masam.

"Aku puas liat Fano marah. Kan, tujuan aku buat dia marah. Dia buat aku kesel karena ceburin aku ke kolam."

Bibi hanya mampu menghela nafas. Yang ia harapkan adalah Clara jadi sadar dan menyesal. Seperti mobil yang mendadak belok padahal jalan mulus-mulus saja hingga membuat mobilnya masuk ke pembatas jurang, seperti itulah jalan pikir Clara yang tidak terduga oleh orang lain.

"Ya udah cepet habisin. Bibi mau ke dapur lagi."

"Iya." Clara menurut. "Bibi nanti anterin makan siang lagi, ya. Aku nggak berani keluar."

"Iya, Nak."

Sekarang Clara merasa sepi kembali karena Bibi telah keluar dari kamarnya. Ia termenung di atas kasur. Tak tahu harus berpikir apa tapi ia tak mengantuk.

Clara melihat ke samping. Dimana ada sebuah frame foto berukuran kecil. Foto keluarga lengkapnya. Namun wajah Fano sudah ia coret dengan spidol.

"Gara-gara lo gue dimusuhin Mama Papa, setan!"

Andai saja Mama dan Papa masih di luar kota, mungkin hari ini ia akan melanjutkan aksinya untuk membuat Fano lebih murka lagi. Sayangnya belum bisa terwujud.

We (didn't) grow up TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang