BAB 37: Rest

183 22 1
                                    

Happy Reading💗💗💗

=======================================

Fano menunggu Dela yang saat ini sedang mengganti perban. Sebenarnya ia tidak berani melihat adanya luka robek di kaki itu. Sampai sekarang ia belum berani menanyakan apa saja yang mereka lakukan pada Dela hingga jadi seperti ini. Ia yakin Dela juga tak bersedia menceritakannya. Padahal Clara pasti tahu segalanya. 

Setelah dokter dan perawat keluar dari ruangan, ia mendekat dan duduk di tepi. Dela ingin mengambil air mineral di atas meja. Fano segera mengambilnya, tak lupa membukanya.

“Makasih,” ucap Dela sebelum menenggak air itu. 

“Tadi Mama pamit pulang, tapi kamu lagi tidur.” Fano berujar. “Sekarang baru aja sampai di rumah.”

Dela mengangguk pelan. Ia bersandar sembari melihat ke jendela. Clara sudah keluar dari rumah sakit. Sementara ia belum. 

“Kata Papa,” ucap Fano membuat Dela menoleh. “Kamu bisa tinggal di rumah kalo mau. Biar lebih aman juga. Kita nggak tau kedepannya, kan.”

Ia sudah mendengar itu dari papanya Fano yang menawarkannya untuk tinggal bersama mereka. Dela cukup tersanjung atas penawaran itu. Tapi ia tidak akan menerimanya. 

Ia juga tak bisa untuk selalu seperti ini.

“Fan,” panggilnya pelan. Sejujurnya ia tak kuasa untuk mengatakan ini. Pasti akan ada penolakan. “Aku mau tinggal sama Papa.”

Harusnya ini kabar baik bagi Fano. Meski mereka harus … berjauhan. 

Fano tersenyum simpul. “Glad to hear that. Terus kuliah kamu gimana?”

“Mau cuti,” ucap Dela. Ia rasa perlu beristirahat sejenak. “I really need a rest." 

“Ya. Di sana kamu lebih aman juga.”

“And so do we." 

Fano langsung terdiam mendengar itu. 

“Kamu nggak capek sama aku?”

“Kalo kamu capek itu tidur, Del. Jangan ngelantur.”

Dela tersenyum miris mendengar itu. “Jangan maksa aku terus, Fano.”

Alis Fano terangkat satu. Ia tak mengerti dimana letak pemaksaannya. “Sejak ketemu Rian jadi suka ngelantur?”

Dela menghela nafas. Ia tidak tahu haruskah ia marah sebagai reaksinya mendengar ucapan Fano. Atau mengatakan saja apa yang ia rasakan sebagai alasan mereka harus berhenti dulu.

Atau berhenti saja selamanya.

“Kenapa kamu jadi sebut nama dia? Kalo mau sarkas nggak usah, lah, bahas-bahas dia. Nyalahinnya cukup ke aku. Jangan orang lain.”

“Karena aku nggak suka keputusan sepihak kamu itu.”

“Makanya kita omongin baik-baik, Fan. Jangan mancing, deh.” Dela mulai tersulut emosi. Nafasnya pun memburu dengan cepat.

“Terus maksud kamu aku sering maksa?”

“Ya inget aja waktu kita jadian. Dari awal pendekatan kamu maksa terus. Bagi kamu kecil, sepele. Tapi nggak pernah sadar kamu itu selalu maksa aku, Fano.”

“Aku masih nggak ngerti.”

“Maksa nurutin kamu!” Nada suaranya mulai meninggi. “Iya tau kamu itu peduli. Tapi kasar, Fano.”

“Kapan pernah aku maksa kamu, Dela? Kamu diam aja nggak cerita apapun soal Rey yang nemuin kamu. Kamu diam aja soal Rey yang main sajam ke kamu padahal ada banyak orang disitu sedangkan kamu nggak cerita apapun. Dan kamu bilang aku maksa?”

We (didn't) grow up TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang