Happy Reading💗💗💗
=======================================
Mungkin terakhir ia bisa tidur di kasur yang empuk dan nyaman adalah sekitar dua minggu yang lalu. Kini kenyamanan itu kembali ia rasakan. Tak ada kasur keras di kamar tamu rumah Pak Ar–
Matanya langsung terbuka saat ia sadar jika ini bukanlah mimpi. Ia tidur di kasur yang empuk, di dunia nyata. Spontan tubuhnya bangun untuk duduk dan sebuah lap langsung jatuh dari keningnya. Ia melihat ruangan yang didominasi cat putih. Ini ruangan tempat ia berganti baju.
Lalu ia mendapati seorang wanita yang duduk di sebelah kasur, sambil memangku seekor anjing. Tubuhnya secara spontan lagi beringsut mundur.
“Mau pergi?” tanya wanita itu tanpa menatapnya. Tangannya mengusap bulu anjing yang halus itu.
Dela menelan ludahnya. “A-aku mau p-pulang.”
Cleo yang tadinya duduk dengan tenang, kini berdiri. Ia turun dari pangkuan wanita itu karena melihat adanya bola di sudut ruangan.
“Padahal saya nggak ngusir kamu.” Kini tatapan mereka beradu. “Saya cuman kasih tau fakta yang harus kamu tau. Daripada tahunya nanti, sakit hatinya lebih baik dari sekarang, kan?”
Tak ada lagi tutur kata yang cuek apalagi ketus. Wanita itu terkesan biasa saja seolah tak ada yang terjadi sebelumnya.
“Aku …” Tangannya meremas selimut yang ia kenakan. “Nggak bisa di sini … sama Tante … dan anak Tante.” Kepalanya tertunduk. Suaranya terdengar lirih, ada lara yang mendalam di sana.
Reya menyunggingkan senyumannya. “Rahim saya udah diangkat waktu umur saya 24. Sudah sangat lama.”
Kalau saja bisa pingsan lagi, mungkin sudah ia lakukan sekarang. Sayangnya hal itu tak bisa dilakukan dengan direncanakan.
“Silahkan tinggal di sini. Saya nggak melarang.”
Kepalanya yang tadi tertunduk kini perlahan terangkat. Ada rasa aneh menjalar di tubuhnya. Melihat wajah itu, tatapan sendu itu, benar-benar membuat rasa rindunya bangkit. Sosok itu seperti berdiri dengan nyata di hadapannya.
“Cukup Fika aja yang pernah ninggalin saya. Kamu jangan.”
Benar kata Pak Aryo. Tante Reya sangat menyayangi mamanya.
*****
“Hadeh, gue LDR nggak lebay kayak lo, deh. Kok alay banget sih?” tanya Clara saat melihat Fano yang hanya diam meratapi layar ponsel. Seperti kehilangan jati diri. Sejujurnya ia ingin meledek lelaki itu. Tapi takut jika dirinya yang akan terkena karma nantinya.
Jangan sampai.
Sudah berhari-hari Fano seperti ini. Clara yang awalnya cuek, tak mau perduli jadi risih melihat kelakuan Fano. Akhirnya ia sendiri yang turun tangan untuk menghadapinya langsung. Tidak bisa dibiarkan terus seperti ini.
“Ayo temenin aku,” pinta Clara. Fano tak mau menoleh. Ia malah mematikan ponsel dan memejamkan mata. Clara duduk di dekat kaki Fano.
“Aku mau test drive nih. Cepet temenin.”
“Berobat dulu ke rsj baru bawa mobil.”
“Aku nggak sakit heh!” Kalau saja tak ia tahan, mungkin ia sudah mencubit Fano karena gemas. “Udah cukup aku rawat jalan selama ini. Aku udah semester empat, loh.”
“Nggak ngaruh. Tingkah kamu malah makin nggak bener,” jawab Fano masih dengan mata terpejam. “Malu Abang kalo tiba-tiba di jalan tantrum lagi.”
Clara cemberut. Sebaiknya kali ini ia saja yang mengalah. Demi kesejahteraan perasaan Fano saat ini. “Iya maaf aku udah gigit telinga Abang. Aku salah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
We (didn't) grow up Together
RandomDulu sewaktu kecil, Fano dan Clara sangat lengket bak prangko dan kertas. Kemanapun Fano pergi maka Clara akan ikut. Kemanapun saudaranya itu melangkah maka Clara akan ada di belakangnya. Sampai semua orang tahu jika mereka adalah kakak beradik. Ten...