BAB 4: Janji

305 33 3
                                    

=========================================


"Kalo lo lupa jalan ke rumah sendiri, gue bisa anterin.”

“Ya udah ayo. Sekalian ketemu Mama.” Fano dengan senang hati menerima ajakan itu. Sayangnya Dela tak serius dengan ucapannya tadi. Ia bermaksud sarkas. Tapi Fano malah meladeninya.

“Beneran pindah kost gue kalo lo di sini terus.” Dela membuka seragamnya hingga menyisakan tanktop putih. 

“Jangan ngintip!”

“Gue punya mata,” jawab Fano cuek. Lalu seragam putih Dela mendarat di kepalanya. 

“Sana!”

Fano berdecak. Ia memilih tengkurap seraya bermain ponsel. Dela mengganti roknya menjadi celana pendek.

“Numpang tidur mulu lo!” Dela menendang paha Fano namun tak keras. “Minggir. Mau tidur.”

Fano hanya bergeser sedikit. Dela mengambil bantal yang dipeluk Fano karena ingin memakainya. 

“Lo nggak bosen tidur terus, Del?”

Dela tersenyum miring. Ia melihat Fano yang berbaring di sampingnya.

“Kenapa?”

“Nggak mau keluar?”

“Mulai bosen di sini?”

“Kalo gue nggak di sini lo nya yang keluyuran.”

Seringai miring di wajah Dela memudar. Digantikan raut masam karena ucapan Fano yang lagi-lagi membuatnya kesal.

“Suka-suka gue, ah!”

“Ketemu lagi lo sama si bangsat itu, beneran gue habisi orangnya, Del.”

Dela berdecak. Ia jadi malas meladeni Fano. Tahu apa memangnya cowok itu? Oh, iya. Tahunya hanya memberikan kata-kata pedas untuk menjatuhkan mentalnya. Fano mana mengerti perasaannya. Khususnya perasaan perempuan.

“Orang stres gitu masih lo sayang. Mau lo ikutan stres?”

“Iya-iya gue stres!” ucapnya membenarkan tapi dengan nada tak terima. Terbawa emosi. “Dibilang udah putus, Fano. Masih juga dibahas.”

“Diajak balikan juga pasti mau, kan.”

“Enggak.”

“Denial.”

“Ya udah jangan didoain!” omelnya pada sahabatnya dari kecil itu. “Ngakunya kenal gue dari lama tapi nggak pernah support. Cih.”

“Udah kenal gue dari lama tapi nggak pernah peka.”

“Apa?”

“Budek lo?” tanya Fano dengan tatapan tajam. Kali ini Dela langsung menimpuk wajah itu dengan bantal. Sungguh, ia tak suka bila Fano melihatnya begitu. 

“Dela!” Fano langsung protes. Ia menyingkirkan bantal itu 

“Pergi, deh, lo! Bikin kesel aja!” Dela ikutan protes. “Tuh adek lo disuruh masuk SLB. Urusin sana jangan ke sini mulu.”

“Udah dibawa sama Mama.”

“Ke SLB?”

“Gue nggak tanggung jawab kalo tempat lo ini dibakar karena Clara dengar.”

Mendengar itu Dela langsung mengunci mulutnya. Tak bicara lagi mengenai adiknya Fano itu. 

“Gue nggak tau kenapa dia jadi gitu sekarang.” Fano mulai bercerita. Ia melihat langit-langit kamar yang berwarna putih itu. “Mungkin ada hal yang buat dia gampang ketrigger. Jadi balik kayak dulu lagi.”

We (didn't) grow up TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang