Selamat membaca💗💗💗
=======================================
Mengambil keputusan ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan rupanya. Sungguh. Di saat orang-orang begitu antusias untuk memilih prodi di universitas yang mereka inginkan, Clara malah berdebat dengan dirinya sendiri. Tak tahu harus kemana dan tak tahu… sebenarnya ia tak mau lanjut.
Clara benar-benar merasakan dampak dari hidupnya yang selama ini selalu disetir oleh keluarganya. Hingga di hari penentuan, dimana ia harus memutuskan untuk melanjutkan universitas mana karena ia mendapatkan jalur undangan.
“Rugi kalo nggak diambil, Clara. Kapan lagi dapat kesempatan kayak gitu,” ujar Fano saat Clara mendatangi kamarnya. Niat ingin berkonsultasi, ia malah mendapatkan ceramah panjang lebar yang sama sekali tak mau ia dengar.
Mungkin memang salahnya bertanya pada manusia tak berperasaan seperti Fano.
Sebagai anak dengan kemampuan yang pas-pas an, tak berkesempatan mendapatkan jalur undangan atau nilai rapot untuk masuk universitas, Fano menyayangkan jika Clara malah asal-asalan memilih jurusan dan malah tidak lolos. Padahal bisa diperhitungkan. Apalagi nilai dan sertifikat adiknya itu tak diragukan lagi.
“Ya terus ambil apa, dong? Aku, kan, belum mau kuliah tahun ini,” jawab Clara sambil cemberut. Ia memang belum siap untuk kuliah. Semangat belajarnya juga menurun.
“Apa yang buat belum siap?” tanya Fano.
“Yaa… banyak, lah.”
“Kuliah, Clara. Mumpung dapat jalur hoki, yakin kamu bakal keterima.”
“Kalo enggak?”
“Diterima di utbk,” jawab Fano. “Dah sana. Abang mau siap-siap.”
Clara menghela nafas. Ia pun bangkit dari kasur dan keluar dari sana. Fano pasti hendak pergi bekerja.
“Sa gimana, dong. Input datanya terakhir malam ini,” ujarnya di telpon. Ya, Clara menghubungi teman baiknya itu untuk curhat.
“Masa masih nggak tau, Ra? Ya udah sama kayak gue aja.”
“Nggak mau, Clarisaa.”
“Ya terus gimana, dong?” Perempuan itu jadi ikutan bingung. “Kalo mau tahun depan harus belajar utbk lagi. Tapi terserah lo, sih.”
Meskipun sudah curhat dengan Clarisa, tak juga membuatnya lega ternyata. Harusnya ia mengundurkan diri saja dari siswa eligible.
Tapi apakah bisa?
*****
“Mama sama Papa kok nggak ajak-ajak, sih, duduk di sini?”
Bukannya merasa bersalah, Mama menatapnya tak suka. “Ganggu orang pacaran aja kamu.”
Clara langsung ikut bergabung. Duduk diantara mereka dengan memposisikan dirinya di tengah. Kalau Papa tidak lembur pasti akan duduk berdua dengan Mama di halaman belakang rumah sembari menikmati senja. Kali ini Clara ingin ikut.
“Kamu, tuh, dulu numpangnya di perut Mama nempelnya ke Mama, dong.” Kepala Clara ditarik agar bersandar di pundak mamanya. Tapi ia tak mau. Ingin bersandar di bahu Papa.
KAMU SEDANG MEMBACA
We (didn't) grow up Together
RandomDulu sewaktu kecil, Fano dan Clara sangat lengket bak prangko dan kertas. Kemanapun Fano pergi maka Clara akan ikut. Kemanapun saudaranya itu melangkah maka Clara akan ada di belakangnya. Sampai semua orang tahu jika mereka adalah kakak beradik. Ten...