=========================================
Karena sudah berjanji dengan Mama untuk tak lagi marah-marah, Clara jadi harus mengatur emosinya sebaik mungkin. Ia harus menahan tangannya yang gatal ketika melihat Aresha berjalan di depannya dengan tatapan meremehkan. Entah punya dendam apa lagi perempuan itu. Harusnya ia yang dendam. Ia tak pernah suka jika ada orang yang menatapnya penuh intimidasi. Seperti itulah Aresha melihatnya saat ia pergi ke kantin bersama Clarisa.
Saat ada yang menatapnya seperti itu, Clara merasa dirinya dicap lemah. Ia merasa diremehkan dan ia tak suka hal itu terjadi. Maka ia akan membuktikan jika ia tak selemah itu. Ia tak akan membiarkan dirinya ditindas. Jadi ia yang melakukannya duluan sebelum orang itu menantangnya.
“Biasa aja matanya.”
Wajah Clara berubah menjadi jutek saat Fano lewat di depannya. Jangan mengira ia sudah damai. Clara belum bisa berinteraksi hangat seperti dulu. Setelah turun dari motor kemarin, ia langsung menggigit lengan abangnya sekeras mungkin dan kabur begitu saja.
Ujian tengah semester sudah dilewati. Tapi Clara masih mempunyai hutang pada gurunya. Ia harus merelakan jam matematikanya karena harus mengikuti ujian susulan. Jadilah saat jam istirahat sampai ke jam pelajaran berikutnya, ia berada di ruang guru.
“Ujian di sini aja, ya. Biar saya gampang ngawasnya,” ucap gurunya itu sambil menyiapkan lembar jawaban beserta soal. “Duduk.”
Clara duduk di kursi yang sudah disiapkan. Ada pula satu kursi kosong di sebelahnya.
“Ma'am nggak ngajar?” tanya Clara.
“Kan, mau ngawasin kamu.”
Clara lagi-lagi harus memasang wajah biasa saja saat mendengar kalimat sarkas itu.
“Kirain ujian pas pulang sekolah.” Clara berucap pelan.
“Saya sibuk. Nggak sempet kalo pulang sekolah.”
Tapi gue jadi nggak belajar.
Clara menerima lembaran jawabannya. Ia membaca soal sekilas sebelum menjawabnya.
“Eit tunggu. Kakak kelas kamu belum datang.”
Kursi kosong di sebelahnya langsung menjadi perhatian Clara. Memangnya Fano diajar dengan Ibu ini juga?
“Permisi, Ma'am.”
Orang yang ditunggu pun tiba. Clara ikut menoleh saat mendengar suara maskulin itu ada di dekatnya. Seketika pandangan Clara terkunci dengan paras itu.
Lord…
Ia dapat menebak tinggi cowok itu adalah kisaran 185cm, tak jauh berbeda dengan Fano. Kulit sawo matang itu mencuri perhatian Clara. Dan, oh, wajah itu. He looks absolutely stunning.
Clara sampai meneguk salivanya. Siapa dia? Kelas berapa? Kenapa Clara tak pernah melihatnya? Kemana saja ia selama ini tak pernah melihat ada manusia yang tampan seperti ini?
Well, banyak orang tampan di sekolahnya. Yang dapat Clara akui adalah Fano–karena mirip dengan papanya. Sebagai perempuan yang dicap anak gadis kesayangan Papa, Clara amat sangat menjunjung tinggi jika lelaki tertampan di dunia ini adalah papanya. Dan Fano menuruni ketampanan itu. Hanya saja, Clara sangat anti dengan saudaranya karena menyebalkan.
Tapi, orang ini… Clara masih sibuk mengaguminya. Sampai ia ditatap balik dengan kerutan aneh di dahi.
“Silahkan duduk, Bintang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
We (didn't) grow up Together
RandomDulu sewaktu kecil, Fano dan Clara sangat lengket bak prangko dan kertas. Kemanapun Fano pergi maka Clara akan ikut. Kemanapun saudaranya itu melangkah maka Clara akan ada di belakangnya. Sampai semua orang tahu jika mereka adalah kakak beradik. Ten...