Happy Reading💗💗💗
=======================================
Karena Papa dan Mama sibuk, opsi terakhir belajar menyetir adalah dengan mengikuti kursus. Clara tak akan mau lagi dengan Fano. Ia bahkan masih marah, tak sudi untuk sekedar saling tatap. Ia tidak akan meminta maaf sebelum Fano mengakui kesalahannya.
Ibaratnya, kesalahan Fano sekecil semut. Tapi Clara membalasnya dengan melempar bata.
Sebenarnya bisa saja ia meminta tolong pada Bapak Thoriq untuk mengajarinya. Namun melihat ada wajah Fano, bahkan melihat kendaraan saudaranya saja ia sudah sensi. Butuh berhari-hari baginya meredakan emosi. Sebenarnya ini simpel saja. Ia tak suka bila sesuatu berjalan tak sesuai yang dikatakan.
Ngomong-ngomong, selama dua minggu ini hubungan Clara dan Rean tak ada progres apapun. Hubungan mereka kembali seperti biasa. Jika ditanya apakah ada perbedaan? Clara rasa tidak begitu jauh. Bahkan mereka jarang bertukar kabar apalagi telepon. Clara tak begitu posesif untuk menanyakan kabar setiap waktu. Begitu juga Rean.
Perubahan yang terjadi adalah, Clara mulai mau berinisiatif mengirim pesan terlebih dahulu. Dengan begitu Rean membalas hal yang sama, namun pesan mereka tidak berlanjut panjang.
Sementara itu, hubungan Fano dan Dela yang mulai merenggang. Karena kurangnya komunikasi. Fano tak bisa tenang karena Dela tak membalas pesannya. Terlalu lama. Seperti ada yang ditutupi.
Dampaknya, wajah Fano jadi sering terlihat jutek. Itulah yang merusak pemandangan Clara di rumah.
“Jelek banget,” cibir Clara. Ia melengos ke halaman belakang untuk melihat Papa yang sedang duduk di gazebo sambil memakan mangga yang dipotong oleh Bibi. Mama belum pulang karena belum sore. Hari ini akhir pekan, Papa beristirahat seharian di rumah.
“Papa!” sapa Clara lalu duduk di sebelah Papa. Ia langsung menerima suapan mangga. Mulutnya pun terbuka menerima itu lalu melahapnya.
“Nggak ada tugas?”
Clara menggeleng. “Tapi nanti ada temen main.”
“Oh ya? Tumben.”
“Tumben apaan, sih. Masa aku nggak ada temen,” ucap Clara dengan wajah malas. Ia terdiam sejenak memperhatikan Papa. Sejauh ini, Papa belum mencurigai apapun tentangnya.
Mungkin Om Gestara memang tidak menceritakan hubungannya dengan Rean pada Papa. Syukurlah.
“Kenapa sama Abang belum baikan?” tanya Papa membuat Clara menoleh.
“Baikan gimana? Aku nggak salah.”
“Nggak boleh begitu, Clara.” Papa menegurnya. “Kenapa sampai sekesal itu gigit telinga Abang?”“Ya habis nyalahin aku mulu. Nggak sabaran. Pasti karena ribut sama pacarnya, tuh. Aku kena imbas,” ucap Clara. Akhirnya bisa misuh-misuh di depan Papa.
“Gimana kursusnya? Lancar?”
“Lancar banget. Aku udah disuruh buat sim nih.” Clara menyombongkan diri. “Ayok buat sim, Pa!”
“No. Tunggu bener-bener lancar sampai bisa parkir. Dulu Mama waktu parkir nyenggol mobil orang.”
Clara langsung terbahak mendengarnya. “Yang hampir dilabrak ibu-ibu arisan itu, kan?!”
“Hati-hati kamu. Taunya Mama udah pulang terus denger.” Papa menunjuknya dengan garpu. “Ngetawain Mama ntar kejadian di kamu gimana? Papa nggak mau nolongin, ya.”
“Jangan sampai lah. Aku kan jago.” Ia tersenyum bangga. “Nanti aku cari info balap deket sini.”
“Ngaco.” Papa menggelengkan kepala pelan. Clara tergelak lagi. “Gimana rekrutmen aslabnya? Lolos?”
KAMU SEDANG MEMBACA
We (didn't) grow up Together
RandomDulu sewaktu kecil, Fano dan Clara sangat lengket bak prangko dan kertas. Kemanapun Fano pergi maka Clara akan ikut. Kemanapun saudaranya itu melangkah maka Clara akan ada di belakangnya. Sampai semua orang tahu jika mereka adalah kakak beradik. Ten...