Daripada lupa, ayo vote dulu hehehe. Selamat membaca💗💗
=========================================
Airpods masih menyala ketika Fano tiba di tempat tujuan. Ia melihat ke dalam rumah besar namun terlihat tak terawat itu. Meski begitu ada banyak penghuninya di dalam.“Ya udah sampai.”
“Fan, mumpung belum masuk mending minggat sekarang. Lo masih mau ketemu Dela, kan?” Leo berujar panjang lebar. “Nggak tau lo anak Alarick ganasnya kek babi hutan. Lo bisa mati, Fan!”
“Nggak akan,” ucapnya lalu mematikan sambungan. Bersamaan itu airpodsnya sudah ia lepaskan dan membuangnya begitu saja. Ia masuk ke dalam sana. Tampaknya kehadirannya sudah ditunggu karena pintu sudah langsung terbuka.
“Hape.” Salah satu dari dua penjaga pintu meminta ponselnya.
“Buat apa?” tanya Fano. Mereka tampak tak suka akan reaksinya. Lalu dengan tak sopannya tubuhnya malah diraba, jelas membuat pemberontakan bagi Fano sebagai penolakan.
“Hape!”
“Ck!” Fano langsung melempar ponselnya. Lalu berjalan masuk begitu saja. Kali ini keadaan lebih ramai. Asap rokok dimana-mana. Dan tatapan remeh dilayangkan untuknya. Tanpa sadar Fano meneguk salivanya. Namun sebisa mungkin untuk mengendalikan raut wajahnya.
Benar. Ia bisa mati di sini.
“Nggak bawa temen-temen tai lo itu?” Seorang yang rupanya sudah ada di sudut sejak tadi sudah memperhatikan kedatangannya sejak tadi. “Berani juga, lo.” Rian tersenyum miring. Saat asap itu terhembus dari mulut itu, Fano ingin sekali berhenti bernafas rasanya. Bahkan sejak ia masuk ke sini, rasanya ia sudah merasa terbang. Waktu yang tepat untuk menangkap mereka semua.
“Apa lagi yang lo mau dari Dela?”
“Sayang banget lo sama dia?” Rian turun dari atas meja. Ia berjalan mendekati Fano. “Emang seenak itu, ya, Dela?”
Fano tersenyum kecil. Tangannya sudah gatal sekali untuk mencabik mulut itu. Mulut setan itu. Kurang ajar sekali.
“Waktu gue nggak banyak,” ujar Fano. “Kenapa lo segitunya ngincar Dela?”
“Dia nggak pantes hidup. Di nggak bisa dibiarin hidup tenang sementara dia dengan seenaknya ambil keuntungan dari gue.”
Keuntungan?
Fano semakin tak mengerti. Kenapa Rian dan Dela semakin rumit padahal sudah lama hubungan mereka berakhir. Apa yang ia tak ketahui?
“Dela punya rahasia tentang lo?”
Pertanyaan itu, yang terdengar simpel bagi Fano nyatanya berhasil membuat Rian seperti kalah telak. Kentara dari wajahnya yang tak berekspresi lagi. Tubuhnya diam beberapa saat.
“Alright.” Fano mengetahui akar permasalahannya. Benar kata Papa. Sudah pasti lelaki ini punya maksud lain.
“Bakal gue cari.” Ia tersenyum miring. Kemudian berjalan mundur. Ia tak perlu mencari tahu apapun lagi. “Silahkan coba ganggu Dela sepuas lo. Karena hal itu nggak akan terjadi.”
Fano pikir, permasalahan mereka selesai. Nyatanya ia salah. Tepat saat ia hendak keluar, tubuhnya ditarik untuk dilayangkan sebuah bogeman di perut. Bogeman itu menyentuh ikat pinggangnya.
Baiklah. Sebelum polisi datang, biarkan ia menghajar Rian terlebih dahulu agar dendamnya ini tak terlalu lama ia pendam. Ia bisa mengatakan itu sebagai pembelaan diri nantinya.
*****
Mulut Clara terbuka lebar saat ia baru saja keluar dari kamar. Ia hendak sarapan bersama. Tapi pemandangan di meja makan kali ini benar-benar membuatnya takjub. Mulutnya sampai terbuka lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
We (didn't) grow up Together
RandomDulu sewaktu kecil, Fano dan Clara sangat lengket bak prangko dan kertas. Kemanapun Fano pergi maka Clara akan ikut. Kemanapun saudaranya itu melangkah maka Clara akan ada di belakangnya. Sampai semua orang tahu jika mereka adalah kakak beradik. Ten...