Happy reading💗💗💗
=======================================
Beberapa pasang mata langsung tertuju padanya saat ia masuk ke gedung kampus. Clara tahu itu karena warna rambutnya yang cukup terang. Tapi mengambil sikap cuek, Clara dengan percaya diri melanjutkan langkahnya.
Saat ia akan tiba di kelas, ternyata pintunya masih ditutup. Tahu begini ia saja yang mengambil kunci di ruang monitoring. Lagipula kemana anak-anak kelas? Memang masih tersisa 15 menit sebelum masuk. Atau mungkin dirinya yang terlalu cepat datang?
Haruskah ia kembali turun mengambil kunci? Atau duduk di sebelah perempuan yang kini tengah menatapnya masa bodoh?
Ah sebaiknya ia ajak ribut saja bukan?
Clara duduk di sebelahnya. Satu-satunya kursi yang tersedia di dekat ruang itu. Aresha malah menjauh. Kening perempuan itu berkerut. Penampilan Clara terlalu berubah drastis kali ini. Tapi kalau ditanggapi pasti anak ini akan kecentilan, pikirnya.
“Alergi lo deket gue?” tanya Clara.
“Gue nggak mau cari ribut, ya.” Aresha tak mau melihat Clara. Ia sibuk dengan ponselnya.
Clara tertawa pelan. “Takut, ya, lo?”
Kali ini Aresha langsung menatapnya tak terima. “Enggak, lah! Ngapain takut sama lo anjir?”
“Soalnya nggak ada geng lo di sini,” ucap Clara dengan senyuman andalannya. “Jadi kalem lo sekarang. Tobat ya?”
“Berisik,” ketus Aresha. “Jauh-jauh, deh, lo. Atau ambil kunci kelas kek. Panas di sini.”
“Lo pikir gue kacung lo?” tanya Clara tak suka. “Emang nggak cocok lo jadi psikolog.”
“Berisik, deh, setan!”
Tawa Clara kembali menggelegar. Kali ini menarik perhatian orang-orang yang lewat, termasuk teman kelasnya yang baru datang.
“Kok marah, sih. Terima kritikan, dong.” Clara mengibaskan rambut. Ia mulai merasa senang mengganggu Aresha. “Btw suara lo bagus, ya.”
“Diem nggak lo?” Aresha mengangkat pulpennya hingga terarah ke wajah Clara. “Gue nggak akan segan-segan narik mulut lo biar diem, Clara. Mending lo tutup mulut sebelum kejadian.”
Mulut Clara membentuk lingkaran. Takjub dengan ucapan Aresha. “Aw takut, deh.”
Aresha tak meladeninya lagi. Perempuan itu berdiri karena ruangan sudah dibuka. Kali ini Clara tak menyusulnya. Ia akan menunggu dosen tiba saja baru akan masuk ke dalam kelas.
Nanti roasting lagi, ah.
*****
Clara bisa muntah lama-lama jika melihat Fano terus. Sudah seharian melihat lelaki itu di rumah, ditambah lagi melihatnya di kampus. The new fact is, ia dan Fano berada di gedung belajar yang sama. Ia baru tahu jika tiap-tiap gedung belajar di isi dengan satu fakultas. Karena di fakultasnya hanya ada satu prodi, ia bergabung bersama anak fisip.
“Lo ngerti nggak Bapak tadi ngomong apa?” tanya Laras di sebelahnya. Clara hanya mengangguk singkat.
“Allamdulillah. Gue nggak sempat catet ppt nya. Ntar gue tanya-tanya dikit, boleh ya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
We (didn't) grow up Together
RandomDulu sewaktu kecil, Fano dan Clara sangat lengket bak prangko dan kertas. Kemanapun Fano pergi maka Clara akan ikut. Kemanapun saudaranya itu melangkah maka Clara akan ada di belakangnya. Sampai semua orang tahu jika mereka adalah kakak beradik. Ten...