Happy reading yaa💗💗💗
=======================================
Clara pikir, senin pagi adalah hari yang membuat moodnya berantakan. Jika di SMA senin pagi diawali dengan upacara, senin di masa kuliahnya diisi dengan sembilan sks dalam tiga matkul. Itu artinya sepanjang hari ia akan ada di kampus.
Namun ternyata, senin pagi ini terasa berbeda. Rumah mereka kedatangan tamu yang sudah lama tak berkunjung. Harusnya kedatangan itu disambut dengan suka cita. Tapi kedatangan Om Harry membawa berita yang menggemparkan.
Dan hal itu berhasil membuat Fano serasa ingin pingsan.
“Dela hilang.”
Dua kata itu membuat dirinya dan Fano terdiam.
“Sudah dua minggu ini nggak jelas kabarnya. Kirain dia pulang ke apartemen.”
Fano merasa dibohongi selama ini. Ia sampai tak mengatakan apapun. Nafasnya sampai tercekat. Kelopak matanya seakan rapuh ingin tertutup, namun ia paksakan untuk terbuka.
Ia pikir Dela memang benar-benar butuh waktu sendiri.
Semua orang di pagi itu kelimpungan. Papa adalah satu-satunya orang yang bisa diandalkan oleh temannya itu, turut membantu mencari Dela. Sementara itu, Fano … ia bahkan tak mendapatkan petunjuk apapun.
Dan hal itu tak luput dari pandangan Clara. Ia melihat saudaranya itu benar-benar tak berdaya. Wajahnya cemas, tapi tak menunjukkan gelagat apapun. Tak pernah sebelumnya ia lihat Fano seperti ini.
Clara mendekat. Ia melihat ponsel Fano yang sedang menghubungi nomor seseorang. Namun tidak ada jawaban.
“Harusnya Abang sadar.” Suara itu terdengar sangat rendah. “Sebelum dia pamit, harusnya Abang sadar dia mulai aneh.”
“Bang.”
“Abang nggak peka,” lanjut Fano. Tatapannya sangat kosong. “Dia sengaja, Ra. Gimana mau cari dia?”
“Enggak gitu, Abang.” Clara meraih tangan itu. “Jangan mikir aneh-aneh, Bang. Kita nggak tau yang sebenarnya terjadi.”
“Iya karena salah Abang, Ra.”
Clara mulai jengah. Fano tak akan bisa ia beritahu apalagi dibujuk. Akhirnya ia datang pada Mama yang saat ini sedang menyimak pembicaraan Papa dan Om Harry.
“Dela biasanya ke rumah Pak Aryo. Memang dia ke sana, tapi kata Bapak dia pulang.”
“Kakak udah coba ke apartnya?” tanya Audina pada pria itu.
“Udah. Nggak ada orang.”
“Ya Allah …”
Semua orang terlihat sangat pusing. Namun hanya satu orang yang seperti orang linglung.
Clara tak mengerti mengapa masalah orang lain malah lewat di hidupnya.
*****
Ponsel itu akhirnya ia hidupkan setelah sekian lama mati. Beribu pesan langsung masuk sampai ia tak bisa membuka layar kunci. Jadi ia tunggu sejenak sampai ia bisa menggunakan ponselnya.
“How about this house?”
Suara Ibu membuatnya menoleh. Segera ia simpan ponsel itu ke dalam saku untuk melihat bangunan rumah.
“Hem … bagus.”
“Muka kamu nggak bilang gitu.”
Dela langsung meringis. Ia tak berniat mengatakannya secara langsung sebenarnya. Sudah lima rumah mereka kunjungi, tapi belum ada satupun yang menarik di mata Ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
We (didn't) grow up Together
RandomDulu sewaktu kecil, Fano dan Clara sangat lengket bak prangko dan kertas. Kemanapun Fano pergi maka Clara akan ikut. Kemanapun saudaranya itu melangkah maka Clara akan ada di belakangnya. Sampai semua orang tahu jika mereka adalah kakak beradik. Ten...