BAB 6: Patah hati

270 35 5
                                    

=========================================

Teman-teman Fano belum pergi juga ternyata. Clara kesal karena melihat halaman rumah dan garasi penuh dengan kendaraan. Waktu menjelang maghrib begini mereka masih sibuk di sini. Clara langsung melengos masuk ke rumah setelah memarkirkan sepedanya sembarangan. Tadi ia susah payah mengeluarkannya dari garasi, entah motor siapa yang lecet karena ulahnya. Clara tak peduli. 

Clara pergi ke dapur, berharap akan ada makanan yang ada di sana karena sejak pulang sekolah belum mencicipi masakan Mamanya. Tapi yang ia lihat adalah pemandangan yang menganggu matanya. Sangat tidak sehat dilihat.

Persetan

Senyuman manis itu, mata yang ikut menyipit, gelakan tawa pelan, hingga interaksi hangat keduanya membuat hati Clara berdenyut. Semudah itu Fano memberikan perhatiannya pada yang lain, sementara ia sering kali diabaikan.

Taik!

Clara berbalik badan. Ia terpaku pada sebuah vas di atas meja yang berada di dekatnya. Kepalanya terus bersuara membuatnya jadi ingin menurutinya.

“Lempar saja. Dia tidak akan mati dengan itu.”

Sisi setannya kembali lagi. Clara mendekat, namun belum sempat menyentuhnya sebuah tangan sudah lebih dulu mendarat. Rasa emosinya mendadak hilang begitu saja, digantikan rasa takut.

Papa di sini. 

“Dari mana?” 

Bukannya menjawab, Clara malah berlari ke kamarnya. Tak berani untuk melihat papanya karena sudah terpegok ingin melaksanakan niat jahatnya pada Dela. 

Tunggu.

Memangnya Papa tahu kemana ia akan melempar vas bunga itu?

*****

“Sejak kapan sakit?”

Sepertinya pertanyaan itu tak perlu Fano lontarkan karena saat ini adiknya itu sedang sibuk di kamar, dengan musik yang menyala. Clara sedang merapikan lemari bajunya karena tadi pagi ia menarik asal kaosnya dari sana. Agar moodnya membaik, Clara memilih merapikannya sambil mendengar lagu.

Clara tidak sakit. Ia juga tak mengindahkan kehadiran Fano di kamarnya.

“Clara.”

“Siapa juga yang bilang sakit.” 

Ia tak mau repot-repot berbohong hanya untuk menjaga perasaan Fano. Ia bisa mengatakan dengan jujur kalau ia tak mau hadir di perayaan ulang tahun Abangnya itu.

Mama terlalu peduli pada anak sulungnya itu.

“Tadi ada Adela. Dia cariin kamu.”

“Oh.” 

Lagu telah habis, kemudian dilanjutkan dengan musisi ternama dari luar, lagu yang sudah lama tapi hari ini menjadi favoritnya. 

Classic.

Sayangnya, MKTO-Classic harus berhenti mengalun di kamarnya karena Fano mematikannya. Clara langsung bereaksi akan itu.

We (didn't) grow up TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang