BAB 10: Romantis

204 24 1
                                    

Ayo vote dulu hehehe. Selamat membaca💗💗💗

=========================================

It’s weird. Ia kembali diberi fasilitas, setelah lama pergi dari rumah. Bedanya kali ini ia tak serumah dengan Papa, karena tentu saja ia masih tak sudi tinggal bersama pria itu. Enough, ia bahkan tak mau melihat wajahnya kalau bisa. Tapi bagaimanapun ia tak akan bisa mengusirnya. 

Apartemen itu sudah dilengkapi dengan properti baru. Sofa, tv, alat di dapur, kasur, dan lainnya. Semua lengkap. Dan seseorang yang akan menemaninya. 

“Mbak Tria cuman nemenin kamu, nggak jaga kamu kayak Bapak.” Pria itu berkata saat anaknya sedang mengamati apartemen yang akan ia tempati ini. 

“Papa sudah memberikanmu kepercayaan.” Ia masih berbicara dengan tenang, selagi anaknya tak menunjukkan tanda-tanda pemberontakan. “Tolong kamu jangan kembali ke anak itu lagi. Jangan kecewakan Papa lagi.”

Dela berhenti melangkah melihat sebuah foto Mama yang terpajang di dinding. Ternyata Papa masih ingat dengan mendiang Mamanya dengan membawa fotonya ke sini. 

“Aku ngerasa nggak pernah ngecewain Papa.” Ia berujar datar, pelan, dan tatapan tak ramah. “Sejak Papa duluan yang ngecewain aku.”

“Adela.”

“Papa mungkin nggak tau semarah apa aku waktu liat Papa pagi itu, sama wanita lain.” Ia berujar lirih seraya berjalan mundur. Mungkin pintu ini adalah kamarnya.

“Kita udah bahas ini sebelumnya.” Papa mencoba meraih tangannya. Tapi ia dengan cepat menghindar. 

“Aku nggak bermaksud balas dendam dengan seperti ini. Aku tahu aku salah, tapi aku ngerasa Papa nggak berhak kecewa sama aku sedangkan Papa nggak berkontribusi banyak di hidup aku.”

“Adela!”

Dela tahu Papa akan marah mendengar ucapannya yang terkesan kurang ajar ini. Dela bisa mengatakannya seperti anak yang tak tahu diri, tak tahu malu dan tak tahu diuntung. Tapi kalimat-kalimat itu keluar bersamaan dengan air mata yang mengalir di pipinya.

“Cuman Mama.” Ia berkata lirih, meraih handel pintu dan membukanya. “Bukan Papa.” Lalu ia masuk dan menutup pintu dengan rapat. Bahunya bergetar hebat setelah mengatakan itu, karena ada rasa sakit menjalar ke seluruh hatinya. Bahkan ini lebih sakit dari luka fisik dan batin yang Rian berikan.

 *****

“Ma acara perpisahan doang pake fitting baju segala, sih?” tanya Clara saat keluarganya dalam perjalanan ke butik. “Repot banget.”

“Ya nggak pa-pa, dong. Moment penting. Kamu dulu juga gitu, kan.”

“Mama yang mau. Bukan aku.” Clara bersandar di jok dengan melipat tangan. “Lagian ini juga angkatannya Abang.”

“Nanti kamu juga.” Mama menjawab lagi. Clara langsung mengibaskan tangan di udara.

“Aku nggak mau, ah, ikut ginian.”

“Ma turunin aja lah anak ini.” Fano yang sejak tadi hanya diam duduk di sebelah Clara akhirnya tak tahan juga. “Berisik banget.”

“Kenapa nggak Abang aja yang turun? Aku, kan, diajak.”

We (didn't) grow up TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang