1. Keterlambatan Mengawali Segalanya

275 16 1
                                    

Jakarta di hari Senin memang identik dengan macet. Gadis itu berulang kali mengecek jam di pergelangan tangannya. Ia menggigit bibir, cemas. Hari ini adalah hari baru untuknya sebagai siswi kelas XI. Namun, keberuntungan sepertinya tidak memihak padanya di hari ini. Kalau saja Neneknya tidak membangunkannya, ia pasti masih bergelung dengan selimut.

Lagi dan lagi. Taksi yang ia tumpangi berhenti di tengah jalan. Ia pun memekik pelan karena dahinya terbentur kursi.

"Kok berhenti sih, Pak?" Tanyanya

Supir itu menunjuk kearah depan "itu neng, ada kecelakaan. Lagi diangkut kayaknya sama polisi"

Ia menggigit bibirnya lagi, cemas. "Aduh ... Berapa lama ya pak?"

"Kurang tahu neng"

Dengan berat hati akhirnya ia memutuskan untuk turun setelah membayar tarif. Lagipula, sekolahnya tidak terlalu jauh dari sini. Ia bisa jalan kaki meski harus berlari, sih.

Setibanya di sekolah, pintu gerbang telah tertutup. Gadis itu menghela nafas berat, matanya perih oleh air mata yang mendesak keluar. Tiba-tiba Bu Ani, selaku guru BK datang, menyuruh anak-anak yang telat untuk masuk. Memang, gadis itu tidak sendirian, ada enam orang lainnya yang bernasib sama dengannya.

"Berdiri disitu" titah guru itu

Mereka mengikuti instruksi. Setelah upacara selesai, barulah mereka di hampiri kembali oleh Bu Ani.

"Tahun ajaran baru, malah telat. Bagus banget tingkah kalian. Elang, kamu juga. Sebagai kelas XII bukannya makin baik malah makin buruh tingkahmu. Sarah, itu benarkan dasimu yang berantakan" melihat Bu Ani menunjuk dasi gadis itu meraba dadanya. Sial, benar-benar sial. Ia pun lupa memakai dasi. Entah hukuman apa yang akan diberikan padanya.

"Nin, oy ... ssstt..." Suara yang berasal dari belakang membuatnya menoleh. Raut wajah terkejut tak bisa ia sembunyikan begitu melihat cowok dibelakangnya.

Nama cowok itu Gibran. Muhammad Gibran Pratama. Berperawakan putih, dengan rambut ikal. Ia tak terlalu tinggi, bahkan terbilang pendek. Ia adalah teman SMP sekaligus tetangga Anin, entah bisa dibilang tetangga atau bukan, karena jarak rumah mereka hanya berbeda gang.

"Nih, pake dasi gue" cowok itu tiba-tiba menyodorkan dasinya

"Hah?" Tanyanya masih Tak mengerti.

"Iya, Lo gak pake dasi kan? Lo tau sendiri bu Ani super tega. Udah ini pake dasi gue"

"Heh! Itu Anin sama Gibran. Siapa yang suruh ngobrol?" Suara bentakan itu membuat Anin terkejut, ia buru-buru mengambil dasi dari tangan Gibran.

Bu Ani menghampiri mereka dengan tatapan membunuh. "Kamu juga! Mana dasi kamu Anin?"

Anin mengangkat tangan kirinya yang menggenggam sebuah dasi.

"Pakai!"

Matanya berpaling kearah Gibran yang tak mengenakan dasi juga topi.

"Kamu! Gibran! Di hari pertama masuk sekolah sudah berani melanggar aturan. Setelah ini, kamu bukan hanya dijemur, tapi harus lari keliling lapangan 50 kali. Dengar kamu?!"

"Kalo saya beli dasi sama topinya aja gimana Bu?"

"Ya terserah kamu. Uang-uang kamu. Kalo kamu beli, hukuman larinya saya kurangin 25"

Intruder Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang