Gibran berjalan santai sambil bersiul kecil, ia baru saja mengantar Amanda pulang, kini sudah pukul setengah enam. Ia berjalan menuju kamarnya, namun sebelum itu, suara Rini membuatnya mengurungkan niat.
"Gibran!" Panggil Rini
Ia pun mendekat kearah Rini yang kini menatapnya. Rini menurunkan kacamata bacanya dan menaruh buku yang ia pegang di meja dekat tempatnya duduk.
"Kenapa nek?" Tanya Gibran heran
"Abis dari mana kamu? Rumah Anin?" Tanyanya
Gibran terdiam sejenak, lalu menggeleng "Abis dari rumah Manda"
Rini menepuk pelan dahinya "nenek lupa kalau kamu sudah punya pacar" katanya
Gibran tertawa kecil "faktor umur nek, Gibran maklumin"
"Kamu udah nggak ketemu lagi sama Anin? Dia gimana kabarnya? Kemarin terakhir ketemu sama ibunya bulan April lalu, di swalayan" Rini menyerocos
"Enggak nek, Gibran udah jarang main ke rumah Anin" jawabnya jujur
Rini terdiam sebentar, menatap Gibran lurus setelahnya membuang pandangan "ya sudah, sana kamu mandi. Kebiasaan pulang Maghrib terus" omelnya
Gibran menanggapinya tentang tertawa kecil. Ia kemudian meninggalkan Rini dan kembali menaiki tangga untuk ke kamarnya. Dalam hati, ia juga bertanya-tanya, apa kabar Anin? Sudah lama mereka tidak mengobrol layaknya teman biasa. Apalagi, ulangan semester ini membuat mereka pisah ruangan.
< • • • >
"Ibu mengalami truma berat, nak. Setelah beliau sadar malam itu, beliau langsung meminta adikmu, katanya dia mau gendong. Papa bingung sekali saat itu, papa lupa kalau kondisi ibu sedang drop, papa justru memberitahu kalau calon anak kita sudah meninggal"
Anin terdiam mendengar penjelasan Fahri.
"Papa sebenarnya sudah merencanakan satu hal, tapi papa gak akan maksa kalau kamu nggak setuju" Fahri menghela nafas "hari Jumat depan, papa harus kembali ke Kalimantan, pekerjaan papa menumpuk di sana kalau papa nggak kembali"
Anin tetap mendengarkan.
"Papa berencana akan bawa ibu untuk ikut sama papa, sekaligus liburan dan menghapus traumanya. Dokter sudah setuju, asal ibu tetap kontrol ke rumah sakit terdekat dan minum obat secara teratur. Dokter Ben juga bilang kalau ibu memang butuh pengalihan dari rasa sedihnya"
"Lalu, papa akan bawa ibu kesana? Kalau papa kerja, siapa yang akan mengurus ibu?" Tanya Anin, sejujurnya ia kurang setuju soal itu. Kalimantan tidak terhitung dekat dengan Jakarta.
Fahri menatap Anin "karena itu, papa mau kamu dan bi asih ikut kesana"
Anin kembali terdiam. Memikirkan sekolahnya yang masih tersisa 1 tahun lagi. Tapi, toh di Jakarta ia tak punya siapa-siapa kecuali ibunya dan Fahri, dan papanya benar, ibunya butuh suatu pengalihan dari rasa sedihnya.
"Anin mau pa" jawabnya setelah berpikir sekian detik.
Fahri menatap Anin tak percaya "kamu serius? Tapi, sekolah kamu? Gak apa-apa kamu pindah sekolah?"
Pikiran Anin terbayang pada Gibran dan teman-teman kelasnya. Tapi mungkin ini adalah keputusan yang sulit sekaligus benar. Sebab, toh semuanya sudah berbeda. Apa yang terjadi dengannya dan Gibran di masa lalu sudah selesai. Kini, saatnya untuk kembali melanjutkan hidup, dan membiarkan Gibran hidup dengan kebahagiaannya yang sekarang.
"Iya, pa. Anin serius" ucapnya
Fahri tersenyum mendengarnya "maaf papa lagi-lagi merepotkan kamu. Kamu sudah selesai ulangan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Intruder
Teen Fiction[ Untuk kenangan masa muda dan kata maaf yang tak sempat diucapkan ] Bagi Gibran, menikmati masa muda adalah bagaimana kita bisa menjadikan setiap momen yang ada terasa berharga. Juga sebagai cerita yang sempat mengisi kenangan hidupnya seperti tem...